Senin, 28 Mei 2012

Berfikir Kritis dalam Potret Fiqh Era Salaf dan Modern

Dalam khazanah keilmuan Islam, diskusi tentang fiqh memang never ending theme yang mana kehadirannya selalu menjadi kajian hangat yang kerap memunculkan variation of opinion (اختلاف). 

Kemudian, akibat ikhtilaf ini timbullah negative image dari sebagian masyarakat terhadap Fuqoha’ karena diklaim tidak akur. Padahal, adanya variation of opinion sangat lumrah sekali karena masing-masing memiliki methode analisis dan pola pikir (human worldview) yang berbeda. 

Faktor yang mempengaruhi perbedaan worldview tersebut antara lain; ilmu pengetahuan, sejarah, situasi dan kondisi sosial, tradisi, hukum adat, akhlaq, dan politik.[1]
 
Disamping itu, kehadiran ikhtilaf ini hakikatnya telah menggambarkan sikap toleransi serta kelenturan Syariat agar layak dikonsumsi oleh masyarakat dan laku di pasaran, sebagaimana tanggapan al-Khatoby terhadap dawuh Nabi “رَحْمَة أُمَّتِي اِخْتِلَاف ” dikala periode ilmu fiqh belum lahir.[2]
 
Pada awal abad 2 H, saat fiqh mulai terlantik menjadi bagian disiplin ilmu agama, kemampuan daya berfikir “kritis” (ijtihad) dalam memahami dan menginterpretasikan teks nash al-Qur’an dan al-Sunnah sangat dipertaruhkan untuk menyelesaikan isu-isu kontemporer pasca wafatnya Nabi sebagai tempat curhat. Sikap kritis inilah yang kemudian membuat Islam menjadi idola dan mencapai masa keemasannya di abad 4 H, sebab kehadiranya menjadi bukti terhadap kelenturan Syariat, sehigga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan situasi, kondisi dan tidak terkesan monoton mengikuti era Nabi saja. 

Inilah bentuk fiqh era salaf yang diharapkan mampu di tiru oleh fiqh era modern saat ini. Senada dengan al-Suyuthi, al-Baghlawi saat mengomentari surat al-Taubah ayat 122,[3] berkata bahwa berfikir kritis (dalam konteks ijtihad) adalah sebuah keharusan (fardlu kifayah), karena ia merupakan potret dari tafaqquh fiddin. Dan hebatnya, meskipun menuai hasil keliru, berfikir “kritis” ini akan tetap mendapat satu penghargaan dari Alloh.

Sebenarnya perlu di akui bahwa tingkat kemampuan mujtahid modern tidaklah selevel dengan mujtahid salaf. Namun hal ini tidak akan menghapus status keharusan berfikir kritis sampai kapan pun (minal mahdi ila lahdi). 

Kemudian, untuk mengantisipasi kefatalan hasil fiqh modern, maka generasi mujtahid perlu tetap berpijak pada nash dan fiqh salaf agar dapat terarah dan tidak ngawur. Support dari Ulama’ untuk tetap kritis ini dimaksudkan agar antusias intelektual islam terus berkembang dan tidak beku, sekedar takluk dan puas terhadap konsep warisan era salaf di tengah-tengah arus zaman yang sangat kompleks ini. 

Bila dilihat dari kacamata filsafat, teori “konstruksi pemikiran” Charles S. Peirce pakar filosof dan sains (1839-1914 M) tampaknya cocok untuk memadukan fiqh era salaf dengan modern, teori Peirce tersebut adalah belief, habit of mind, doubt, inquiry dan meaning

1.      Belief (kepercayaan)
Otoritas nash harus diyaqini sebagai pedoman dasar dalam mengembangkan sikap kritis atau kebebasan berfikir;

2.      Habit of Mind (tradisi turun temurun dan menggumpal)
tradisi kehidupan mulai Nabi (al-Sunnah) hingga sahabat juga perlu ditanamkan dibawah otoritas wahyu. 

3.      Doubt (keragu-raguan untuk merangsang otak agar kritis)
baik ragu terhadap kandungan makna nash ataupun fiqh era salaf, apalagi fiqh adalah hasil pemahaman mujtahid terhadap nash yang dzanny yakni belum jelas pemahaman makna dzohirnya.[4]
 
4.      Inquiry (penyelidikan)
fase ini berguna untuk menguji keotentikan nash dan fiqh salaf agar nantinya diharapkan bisa dikembangkan untuk menyelesaikan isu-isu kekinian (sebagai fiqh modern) dan menyegarkan kembali studi keislaman berdasarkan perkembangan peradaban diberbagai aspek kehidupan umat manusia.
Melalui fase Inquiry ini Peirce memberikan pandangan bahwa tidak ada kebenaran final dalam penemuan ilmu pengetahuan, namun harus ada research dan investigation sehingga kebenaran itu harus selalu diuji, dipertanyakan dan diselidiki ulang. 

5.      Meaning (bermakna atau bermanfaat)
orientasi sikap kritis fiqh modern adalah agar menjadi sesuatu yang bermakna bagi ilmu pengetahuan dan umat, tidak sekedar sebuah keputusan yang dibungkus oleh misi poitik, nafsu ataupun lainnya. 

Walhasil, pembangunan studi agama belumlah berakhir. Munculnya fiqh era salaf adalah satu bukti respon ulama terhadap perkembangan hukum setelah era Nabi. Sehingga saat ini pun diharapkan terbit fiqh era modern dengan tetap berpijak pada dalil nash dan fiqh salaf untuk mempertahankan keduanya dan terus melestarikan al-Ulum al-Syar’iyah.


[1] Auda Jasser Auda, Maqashid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, (London: The Internaional institute of Islamic Thought, 2008), h.194. lihat juga Syahrour, Nahwa Ushul Jadidah, h.202
[2] Abu zakaria Al-Nawawi, Syarh al-NAwawi ‘ala Shohih Muslim, (Beirut, dalam al-Maktabah al-Syamilah), jld. 6, h. 27
[3] “tidak sepatutnya semua orang-orang mukmin pergi (berperang), mengapa tiap kelompok diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam ilmu agama dan memperingatkan masyarakatnya saat kembali agar mereka semua bisa menjaga dirinya”. (Wahbah az-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus: Daar fikr), jld. 2, h. 1085)
[4] Hukum islam hasil nash yang otentik dan memiliki pemahaman sangat jelas disebut Syari’at. (Lihat Fakhr al-islam, Kasyf al-asror (maktabah syamilah), jld. 1, h. 226, baca juga Almausu’ah al-fiqhiyyah, jld. 2, h. 7277)

DHARURIYYATUL-KHAMS

DHARURIYYATUL-KHAMS
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari
Apa yang dimaksud dengan dharûriyyâtul-khams? Makna dharûriyyâtul-khams, yaitu menyangkut lima kebutuhan penting yang semestinya dijaga oleh kaum Muslimin. Dan dalam masalah ini, Al-Qur‘an dan as-Sunnah telah memberikan perhatian yang besar. Berikut ini ulasan berkaitan dengan pembahasan judul di atas. Kami angkat berdasarkan ceramah Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari pada Daurah Syar’iyyah I yang diselenggarakan oleh Yayasan Imam Bukhari, Jakarta, di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, pada pertengahan bulan Februari 2007, dan mengacu dengan kitab Maqâshidusy- Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, karya Dr. Yûsuf bin Muhammad Al-Badawi yang menjadi pegangan Syaikh dalam daurah tersebut
Dharûriyyâtul-khams yang dimaksudkan, yaitu meliputi penjagaan terhadap dîn (agama), jiwa, keturunan, akal, dan harta.
1.      MENJAGA DIN (AGAMA).
Ini merupakan dharûriyyât yang terpenting dan berada pada urutan tertinggi. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [Adz-Dzâriyat : 56]
Demikian tujuan hakiki dari penciptaan makhluk. Untuk mencapai tujuan inilah, maka para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan. Sebagaimana firman-Nya.
Wxß tûïÎŽÅe³t6B tûïÍÉYãBur žxy¥Ï9 tbqä3tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 n?tã «!$# 8p¤fãm y÷èt/ È@ߍ9$# 4
Artinya : “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. [An-Nisâ : 165].
Begitu juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
ôs)s9ur $uZ÷Wyèt/ Îû Èe@à2 7p¨Bé& »wqߧ Âcr& (#rßç6ôã$# ©!$# (#qç7Ï^tGô_$#ur |Nqäó»©Ü9$# (
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiaptiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”.
[An-Nahl : 36]
Agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga din (agama) dari kerusakan, karena din merupakan dharuriyat yang paling besar dan terpenting, maka syari’at juga mengharamkan riddah (murtad), memberi sanksi kepada orang yang murtad dan dibunuh. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia” [HR Bukhari]
Juga sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.
Artinya : “Tidak halal darah seorang muslim (tidak boleh dibunuh, Red.), kecuali dengan salah satu di antara tiga sebab yaitu jiwa dengan jiwa, orang tua yang berzina (dibunuh dengan dirajam, Red.), orang yang murtad meninggalkan agamanya dan jama’ahnya” [HR Bukhari]
Ini semua untuk menjaga din. Realisasinya dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dengan :
a.     Beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, mengetahui Asmâ dan Sifat Allahl.
b.    Berpegang teguh dengan agama, mempelajarinya, lalu mendakwahkannya.
c.     Menjauhi dan memperingatkan dari perbuatan syirik dan riya’.
d.    Memerangi orang-orang yang murtad.
e.     Mengingatkan dari perbuatan bid’ah dan melawan ahlul bid’ah.[1]
2.      MENJAGA JIWA (HIFZHUN-NAFSI).
Menjaga jiwa juga termasuk dharûriyatul-khamsi, dan din tidak akan bisa tegak, jika tidak ada jiwa-jiwa yang menegakkannya. Kalau kita ingin menegakkan din, artinya, kita harus menjaga jiwa-jiwa yang akan menegakkan din ini. Untuk menjaga dan memuliakan jiwa-jiwa ini, Allah Azza wa Jalla berfirman :
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quŠym Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÐÒÈ
Artinya : “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” [Al-Baqarah :179]
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjadikan qishash sebagai salah satu sebab kelestarian kehidupan, padahal qishash itu merupakan kematian. Mengapa? Karena, dengan keberadaan hukum qishash, maka para pelaku kriminal menjadi jera, kehidupan pun menjadi aman. Jadi, qishash merupakan salah satu sebab terwujudnya kehidupan yang damai, tenang, dan dalam naungan hidayah.
tûïÏ%©!$#ur Ÿw šcqããôtƒ yìtB «!$# $·g»s9Î) tyz#uä Ÿwur tbqè=çFø)tƒ }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ Ÿwur šcqçR÷tƒ 4
Artinya : “(Di antara sifat hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yaitu) tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina”. [Al-Furqân : 68]
Yang disebut dengan al-haq (kebenaran), yaitu harus dengan dalil dan bukti. Jika tidak, berarti melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar. Dan berdasarkan Al-Qur‘an dan as-Sunnah, melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar, hukumnya terlarang.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang penjagaan terhadap jiwa:
Artinya : “Barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh dirinya (mati), maka dia akan berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya”. [HR Imam Bukhari]
Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap seseorang yang berpendapat “saya bebas melakukan apa saja atas diri saya”. Perkataan seperti ini merupakan perkataan keliru, karena di dalam Al- Qur`anul-Karim disebutkan tentang ucapan yang benar, sebagai petunjuk bagi kaum Mukminin jika tertimpa musibah. Allah Azza wa Jalla berfirman.
tûïÏ%©!$# !#sŒÎ) Nßg÷Fu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁB (#þqä9$s% $¯RÎ) ¬! !$¯RÎ)ur Ïmøs9Î) tbqãèÅ_ºu ÇÊÎÏÈ
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” [Al-Baqarah : 156]
Inna lillahi (sesungguhnya kita milik Allah) dengan demikian, kita ini milik Allah Azza wa Jalla, tidak boleh berbuat sewenang-wenang atas diri kita, tidak boleh menyengaja melukai tangan sendiri lalu berkata “ini tangan saya, saya bebas melakukan apa saja terhadapnya”. Apalagi sampai mengatakan “ini adalah jiwaku, saya ingin membunuh diri atau menjatuhkan diri dari gunung, atau menenggak racun”, maka semua ini tidak boleh, karena termasuk berbuat sewenangwenang pada sesuatu yang bukan miliknya.
Wahai Hamba Allah! Jiwa yang pada dirimu itu adalah milik Pencipta dan Rabbmu, Dzat yang engkau ibadahi, yaitu Allah Azza wa Jalla . Engkau tidak boleh berbuat sewenang-wenang padanya.
Dalam hadits “barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh dirinya (mati), maka dia akan berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya” terdapat pelajaran yang bisa kita ambil. Bahwa orang tersebut kekal selamanya dalam Neraka Jahannam, sedangkan di dalam Ahlu Sunnah wal-Jama’ah –di antaranya terdapat kaidah- Perbuatan dosa-dosa besar termasuk dalam kategori dosa-dosa yang bisa diampuni Allah k jika Allah berkehendak. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” [An-Nisâ : 48]
Bunuh diri, termasuk dalam bagian pertama ayat ini, ataukah bagian yang kedua? Apakah bunuh diri termasuk syirik, ataukah berada di bawah syirik? Jawabnya, bunuh diri termasuk dalam dosa di bawah dosa syirik. Namun dalam hadits itu dijelaskan, dia kekal selamanya di neraka. Lantas bagaimana jawabnya?
Para ulama mengatakan, pengertian hadits ini dibawa kepada orang yang membunuh diri, karena ia menganggapnya halal, atau karena meremehkan hukum syari’at, bukan karena maksiat semata, baik yang kecil maupun yang besar. Akan tetapi, ini merupakan pelanggaran terhadap dasar hukum syari’at, dia menentangnya dan menghalalkannya. Dalam kondisi seperti itu, maka dosa maksiat ini menjadi dosa kekufuran.
Oleh karena itu, Abu Ja’far ath-Thahawi, di dalam kitab ‘aqidah beliau yang masyhur, beliau mengatakan: “Kami tidak mengkafirkan ahlul-qiblah (kaum Muslimin) dengan sebab dosa, selama dia tidak menganggapnya halal.”
Pelaku perbuatan dosa ini, jika menganggapnya halal, maka dia menjadi kafir, meskipun perbuatan dosa tersebut lebih kecil atau lebih sedikit dari bunuh diri.
Secara ringkas, hifzhun-nafs dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:
a.     Pada saat darurat (sangat terpaksa), wajib memakan apa saja demi menyambung hidup, meskipun yang ada saat itu sesuatu yang haram pada asalnya.
b.    Memenuhi kebutuhan diri, berupa makanan, minuman dan pakaian.
c.     Mewajibkan pelaksanaan qishash (hukum bunuh bagi yang membunuh, jika sudah terpenuhi syarat-syaratnya, Red.) dan mengharamkan menyakiti atau menyiksa diri.[2]
3.      MENJAGA AKAL (HIFZHUL-AQLI).
Sarana untuk menjaga akal ialah ilmu. Kalimat wahyu pertama kali yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyentuh telinga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah kalimat iqra’ (bacalah!), setelah itu kalimat:
“Artinya : (Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. [Al-Alaq:5]
Karena membaca merupakan jalan mendapatkan ilmu, meskipun bukan jalan satu-satunya, akan tetapi dia merupakan jalan terpenting.
Dalam nash Al-Qur‘an yang lain, Allah berfirman,
Artinya: “(dan katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” [Thaha : 114]
Akan tetapi ilmu ini wajib diiringi dengan amal perbuatan. Ilmu bukan sekedar untuk diketahui, namun dengan ilmu agar bertakwa, beramal shalih, serta menjauhan diri dari perbuatan maksiat dengan landasan takwa kepada Allah Azza wa Jalla . Karenanya dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 91 disebutkan.
Artinya: “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan berjudi itu menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
Khamr dan perjudian telah menyebabkan manusia terhalang dari jalan Allah k dan bisa menghilangkan akal (kesadaran), sedangkan akal sangat dibutuhkan manusia untuk memahami perintah dan hukum-hukum syari’ah.
Dalam ayat ini, setelah Allah Azza wa jalla menjelaskan hukum syar’i dan menjelaskan kewajiban, kemudian seolah-olah Allah Azza wa Jalla hendak menggugah perhatian manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: (maka berhentilah kamu [dari mengerjakan pekerjaan itu]). Mengapa kalian tidak berhenti dari hal-hal yang kalian dilarang darinya, berupa kebiasaan orang-orang Jahiliyah, yaitu khamr dan perjudian? Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:.
“Artinya : Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram”.
Meskipun banyak pabrik membuat produk, lalu setan membuat istilah-istilah untuk produk tersebut, namun kita memiliki kaidah yang mencakup semua nama, meskipun nama tersebut baru dan dirubahrubah, tetapi, setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram.
Dan bahwasanya, untuk menjaga kebaikan akal, maka syari’at mengharamkan semua yang bisa merusaknya, baik yang maknawi (abstrak) seperti perjudian, nyanyian, memandang sesuatu yang diharamkan, maupun yang bersifat fisik seperti khamr, narkoba serta memberikan sanksi kepada yang melakukannya.[3]
4.      MENJAGA KETURUNAN (HIFZHUN-NASLI)
Di antara dharûriyyâtul-khams yang dipelihara dan dijaga dalam syari’at, yaitu menjaga keturunan. Allah Azza wa Jalla berfirman :

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. [Al-Isrâ : 32]
Bentuk penjagaan agar manusia menjauhkan manusia dari perbuatan zina, maka syari’at memperbolehkan dan menganjurkan pernikahan poligami, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla menyebutkan.
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
Artinya : “Maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” [An-Nisâ : 3]
Nabi Shallallahu ‘alaihiwa sallam juga bersabda :
Artinya : “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia melakukan puasa (sunat). Karena sesungguhnya puasa itu menjadi obat bagi dia”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
Artinya : “Seorang pezina tidak akan melakukan perbuatan zina, sedangkan dia dalam keadaan beriman”.
Dalam sebagian riwayat dijelaskan, iman tercerabut darinya. Jika ia berhenti dari berzina, maka keimanannya kembali kepadanya. Semua nash-nash ini untuk menjaga keturunan.
Pemeliharaan keturunan ini, bisa dilihat dari beberapa hal berikut:
  1. Anjuran untuk melakukan pernikahan.
  2. Persaksian dalam pernikahan.
  3. Kewajiban memelihara dan memberikan nafkah kepada anak, termasuk kewajiban memperhatikan pendidikan anak.
  4. Mengharamkan nikah dengan pezina.
  5. Melarang memutuskan untuk thalaq jika tidak karena terpaksa.
  6. Mengharamkan ikhtilâth.[4]
5.      MENJAGA HARTA (HIFZHUL-MALI).
Bagian terakhir dari dharuriyâtul-khams yang dijaga oleh syari’at. Yakni sesuatu yang menjadi penopang hidup, kesejahteraan dan kebahagiaan, yaitu menjaga harta. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ%   ÇÎÈ
Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan” [An-Nisâ‘ : 5]
Maksudnya, kemapanan keberadaan manusia ialah dengan harta. Oleh karenanya terdapat perintah mengeluarkan zakat, shadaqah. Dan zakat merupakan hak Allah k . Sehingga orang yang berhak menerimanya terjaga dan harta yang mengeluarkannya juga menjadi bersih dan suci.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Artinya : “Allah Azza wa Jalla melaknat pencuri yang mencuri telur, lalu tangannya dipotong”.
Dalam syari’at Allah yang bijak ini, juga terdapat larangan melakukan perbuatan tabdzir (pemborosan). Allah l berfirman,
“Artinya: Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya”. [Al-Isrâ : 26-27]
Begitu juga Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang isrâf (berlebih-lebihan), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.
( Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä šúüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÊÍÊÈ
Artinya: “Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [Al-An’am :141]
Di antara cara dalam pemeliharaan harta ialah:
a.     Islam mewajibkan beramal dan berusaha.
b.    Memelihara harta manusia dalam kekuasaan mereka.
c.     Islam menganjurkan bershadaqah, memperbolehkan jual beli dan hutang-piutang.
d.    Islam mengharamkan perbuatan zhalim terhadap harta orang lain dan wajib menggantinya.
e.     Kewajiban menjaga harta dan tidak menyia-nyiakannya.[5]
Demikian beberapa nash dari Al-Qur‘an dan as- Sunnah, yang berkaitan dengan dharûriyyâtul-khams .
Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada kaum Muslimin lainnya untuk memahaminya, sehingga semakin menambah dan mengokohkan keyakinan terhadap kebenaran din, agama yang haq ini. Wallahu a’lam bish-Shawab
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]


[1] Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 448-458
[2] Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 462-465
[3] Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 467-468
[4] Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 473-478
[5] Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 481-487