Rabu, 10 Agustus 2011

Zakat Fitrah Dan Problematikanya


fitrah2 

Zakat fitrah adalah mengeluarkan bahan makanan pokok dengan ukuran tertentu setelah terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadhan (malam 1 Syawwal) dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan .
Zakat fitrah diwajibkan ditahun kedua Hijriyah.
Dasar wajib zakat fitrah  :

عن ابن عمر أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كلّ حرّ أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين ( رواه مسلم )

“Diriwayatkan dari Sayyidina Abdullah bin Umar, Sesungguhnya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah bulan Ramadhan berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum atas setiap orang muslim, merdeka atau budak, laki2 maupun perempuan

Zakat fitrah wajib bagi setiap orang islam yang mampu dan hidup di sebagian bulan Ramadhan serta sebagian bulan Syawwal. Artinya, orang yang meninggal setelah masuk waktu maghrib malam lebaran (malam 1 Syawwal) wajib baginya zakat fitrah (dikeluarkan dari harta peninggalannya). Begitu juga bayi yang dilahirkan sesaat sebelum terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan dan terus hidup sampai setelah terbenamnya matahari malam 1 Syawwal.

Tapi sebaliknya, orang yang meninggal sebelum terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan atau bayi  yang lahir setelah terbenamnya matahari di malam 1 Syawwal tidak diwajibkan baginya zakat fitrah.

Yang dimaksud mampu yaitu, memiliki harta lebih dari :
  1. Kebutuhan makan dan pakaian untuk dirinya dan orang yang wajib dinafkahi pada siang hari raya beserta malam harinya (1 Syawwal dan malam 2 Syawwal) .
  2. Hutang, meskipun belum jatuh tempo (saat membayar).
  3. Rumah yang layak baginya dan orang yang wajib dinafkahi.
  4. Biaya pembantu untuk istri jika dibutuhkan.
Orang yang wajib dinafkahi yaitu :
  1. Anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta.
  2. Anak yang sudah baligh namun secara fisik tidak mampu bekerja seperti lumpuh, idiot, dan sebagainya serta tidak memiliki harta.
  3. Orang tua yang tidak mampu (mu’sir).
  4. Istri yang sah.
  5. Istri yang sudah ditalak roj’i (istri yang pernah dikumpuli dan tertalak satu atau dua) dalam masa iddah.
  6. Istri yang ditalak ba’in  (talak 3) apabila dalam keadaan hamil.
Zakat fitrah berupa makanan pokok mayoritas penduduk daerah setempat.
Ukuran zakat fitrah 1 sho’ beras

Urutan dalam mengeluarkan zakat fitrah ketika harta terbatas.
Orang yang memiliki kelebihan harta seperti di atas tetapi tidak mencukupi untuk fitrah seluruh keluarganya, maka dikeluarkan sesuai urutan berikut :
  1. Dirinya sendiri.
  2. Istri.
  3. Pembantu istri sukarela (tanpa bayaran).
  4. Anak yang belum baligh.
  5. Ayah yang tidak mampu.
  6. Ibu yang tidak mampu.
  7. Anak yang sudah baligh dan tidak mampu (secara fisik dan materi).
Jika kelebihan harta tersebut kurang dari 1 sho’ maka tetap wajib dikeluarkan.

Waktu mengeluarkan zakat fitrah:

1. Waktu wajib, yaitu ketika mendapati sebagian dari bulan Ramadhan dan sebagian dari bulan Syawwal.
2. Waktu jawaz (boleh), yaitu mulai awal Ramadhan.
Dengan catatan orang yang telah menerima fitrah darinya tetap dalam keadaan mustahiq (berhak menerima zakat) dan mukim saat waktu wajib.
Jika saat wajib orang yang menerima fitrah dalam keadaan kaya atau musafir maka wajib mengeluarkan kembali.
3. Waktu fadhilah (utama), yaitu setelah terbitnya fajar hari raya (1 Syawwal) sebelum pelaksanaan shalat ied.
4. Waktu makruh, yaitu setelah pelaksaan shalat ied hingga terbenamnya matahari 1 Syawwal, kecuali karena menunggu kerabat atau tetangga yang berhak menerimanya.
5. Waktu haram, yaitu mengakhirkan hingga terbenamnya matahari 1 Syawwal kecuali karena udzur seperti tidak didapatkan orang yang berhak didaerah itu. Namun wajib menggodho’i.

Syarat sah zakat fitrah:

I. Niat.
Niat wajib dalam hati. Sunnah melafadzkannya dalam madzhab syafi’i.
Niat untuk fitrah diri sendiri:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ نَفْسِي لِلَّهِ تَعَالىَ

(Saya niat mengeluarkan zakat fitrah saya karena Allah Ta’ala)
Niat untuk zakat fitrah orang lain:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ  فُلاَنٍ أَوْ فُلاَنَةْ لِلَّهِ تَعَالىَ

(saya niat mengeluarkan zakat fitrah fulan atau fulanah karena Allah Ta’ala)

CATATAN : Anak yang sudah baligh, mampu secara fisik, tidak wajib bagi orang tua mengeluarkan zakat fitrahnya. Oleh karena itu apabila orang tua hendak mengeluarkan zakat fitrah anak tersebut, maka caranya :
  1. Men-tamlik makanan pokok kepadanya (memberikan makanan pokok untuk fitrahnya agar diniati anak tersebut).
  2. Atau mengeluarkannya dengan seizin anak.
Cara niat zakat fitrah

a. Jika dikeluarkan sendiri, maka diniatkan ketika menyerahkannya kepada yang berhak atau setelah memisahkan beras sebagai fitrahnya. Apabila sudah diniatkan ketika dipisah maka tidak perlu diniatkan kembali ketika diserahkan kepada yang berhak.

b. Jika diwakilkan, diniatkan ketika menyerahkan kepada wakil atau memasrahkan niat kepada wakil. Apabila sudah diniatkan ketika menyerahkan kepada wakil maka tidak wajib bagi wakil untuk niat kembali ketika memberikan kepada yang berhak, namun lebih afdhol tetap meniatkan kembali, tetapi jika memasrahkan niat kepada wakil maka wajib bagi wakil meniatkannya.

II. Menyerahkan kepada orang yang berhak menerima zakat, yaitu ada 8 golongan yang sudah maklum.
Hal–hal yang perlu diperhatikan:

1. Tidak sah memberikan zakat fitrah untuk masjid.
2. Panitia zakat fitrah yang dibentuk oleh masjid, pondok, LSM, dll (bukan BAZ) bukan termasuk amil zakat karena tidak ada lisensi dari pemerintah.
3. Fitrah yang dikeluarkan harus layak makan, tidak wajib yang terbaik tapi bukan yang jelek.
4. Istri yang mengeluarkan fitrah dari harta suami tanpa seizinnya  untuk orang yang wajib dizakati, hukumnya tidak sah.
5. Orang tua tidak bisa mengeluarkan fitrah anak yang sudah baligh dan mampu kecuali dengan izin anak secara jelas.
6. Menyerahkan zakat fitrah kepada anak yang belum baligh hukumnya tidak sah (qobd-nya), karena yang meng-qobd harus orang yang sudah baligh.
7. Zakat fitrah harus dibagikan pada penduduk daerah dimana ia berada ketika terbenamnya matahari malam 1 Syawal. Apabila orang yang wajib dizakati berada di tempat yang berbeda sebaiknya diwakilkan kepada orang lain yang tinggal di sana untuk niat dan membagi fitrahnya.
8. Bagi penyalur atau panitia zakat fitrah, hendaknya berhati-hati dalam pembagian fitrah agar tidak kembali kepada orang yang mengeluarkan atau yang wajib dinafkahi, dengan cara seperti memberi tanda pada fitrah atau membagikan kepada blok lain.
9. Mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) tetap wajib fitrah sekalipun dari hasil fitrah yang didapatkan jika dikategorikan mampu.
10. Fitrah yang diberikan kepada kyai atau guru ngaji hukumnya TIDAK SAH jika bukan termasuk dari 8 golongan mustahiq.
11. Anak yang sudah baligh dan tidak mampu (secara materi) sebab belajar ilmu wajib (fardlu ‘ain atau kifayah) adalah termasuk yang wajib dinafkahi, sedangkan realita yang ada mereka libur pada saat waktu wajib zakat fitrah. Oleh karena itu, caranya harus di-tamlikkan atau dengan seizinnya sebagaimana di atas.
12. Ayah boleh meniatkan fitrah seluruh keluarga yang wajib dinafkahi sekaligus. Namun banyak terjadi kesalahan, fitrah anak yang sudah baligh dicampur dengan fitrah keluarga yang wajib dinafkahi. Yang demikian itu tidak sah untuk fitrah anak yang sudah baligh. Oleh karena itu, ayah harus memisah fitrah mereka untuk di-tamlikkan atau seizin mereka sebagaimana keterangan di atas.

Minggu, 07 Agustus 2011

Waktu Shalat Di Eropa Dan Kutub

kutub 

Di belahan bumi dengan iklim tropis seperti Negara Indonesia hanya mengalami dua musim yaitu musim panas (kemarau) dan musim hujan, hampir tidak mengalami perbedaan yang nampak antara waktu siang dan malam (berjalan secara seimbang). Namun di belahan bumi beriklim sub tropis seperti negara-negara di Benua Eropa atau beriklim kutub seperti sebagian besar daerah Rusia, mengalamai 4 musim yaitu, musim dingin, musim semi, musim panas dan musim gugur, perbedaan waktu antara siang dan malam sering terjadi khususnya pada musim panas dan dingin. Ketika musim panas, siang hari lebih panjang dari malam hari, namun ketika musim dingin malam hari lebih panjang dari siang hari. Bahkan di daerah kutub, ketika musim panas siang hari tanpa malam selama 6 bulan, sedangkan ketika musim dingin malam hari tanpa siang selama 6 bulan. Kadangkala matahari terbenam sebelum jam 10 pagi seperti daerah Bulgaria, atau siang hari selama 18 jam seperti negara Swedia atau masuk waktu isyak pada jam 11 malam seperti negara Denmark. Hal ini akan terasa berat bagi umat Islam untuk mengerjakan shalat 5 waktu atau puasa Ramadhan, khususnya bagi anak-anak yang harus pergi ke sekolah  untuk belajar atau orang dewasa untuk bekerja di pagi hari.

Daerah-daerah yang mengalami perbedaan waktu sebagaimana di atas atau bahkan pada daerah kutub yang tidak ada perubahan siang malamnya dalam 6 bulan akan mempersulit dalam penetapan waktu shalat. Dan adakalanya pada suatu daerah terjadi waktu isya’ hanya dalam hitungan menit setelahnya langsung terbit fajar (waktu subuh), sehingga ada yang masih memungkinkan untuk menetapkan waktu shalat menjadi 5 waktu walaupun mempersulit mereka dalam mengerjakannya, dan bahkan ada yang hanya bisa menetapkan 4 waktu saja karena singkatnya waktu antara satu shalat dengan shalat yang lain.

Kesulitan seperti ini tidak hanya berpengaruh pada pelaksanaan shalat 5 waktu, akan tetapi pada puasa Ramadhan yang sama-sama mendasarkan pada matahari (perubahan siang dan malam). Perubahan waktu semacam ini akan memperberat puasa, karena di musim panas akan mengalami siang yang lebih panjang seperti yang terjadi di negara Bulgaria, hingga mencapai 23 jam, bahkan selama 40 hari di musim panas menjadi hari dengan intensitas malam paling singkat karena matahari sudah terbit sebelum terbenamnya mega (matahari terbit seketika setelah terbenamnya matahari). Kesulitan-kesulitan seperti ini tidak sejalan dengan kaidah hukum islam yaitu keringanan/toleransi, sebagaimana dalam kaidah fikih :

إذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اتَّسَعَ

“ jika suatu perkara semakin sempit (sulit), maka hukumnya semakin meluas (ringan).”
Dan kaidah :

“الْمَشَقَّةَ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ”

“ kesulitan akan menarik pada kemudahan “

Bagaimanakah syari’at menanggapi keadaan semacam ini ?,
Menyikapi keadaan di atas, maka kami akan paparkan pendapat para ulama’ 4 madzhab dalam beberapa masalah berikut :

1. Kewajiban shalat 5 waktu.
Pendapat yang kuat dalam empat madzhab yaitu kewajiban sholat fardhu 5 waktu tidak gugur bahkan terhitung sebagai shalat ada’ bukan qodlo’, berdasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an atau hadist bahwa sholat wajib dikerjakan pada waktunya tanpa ada pengecualian di mana pun berada. Namun apabila terdapat kesulitan di dalam menentukan waktu seperti di negara Bulgaria, daerah kutub atau pada zman Dajjal, maka dengan cara mengikuti waktu shalat di daerah terdekat sesuai pada permasalahan zakat fitrah bagi orang yang hidup di daerah dengan makanan pokok yang tidak sesuai dengan ketentuan Syari’at (seperti susu), maka wajibnya mengeluarkan jenis  makanan pokok daerah terdekat yang sesuai dengan ketentuan Syari’at.
Kesimpulan : pada daerah seperti Bulagria ketika tidak memungkinkan menetapkan waktu isyak dikarenakan matahari terbit sebelum hilangnya mega merah, jika daerah terdekat darinya yaitu Turki (berada di sebelah selatan Bulgaria) mega merah hilang di perempat malam pertama, maka bagi penduduk Bulgaria dapat langsung mengerjakan shalat isyak dengan menisbahkan/memperkirakan selisih waktu antara kedua negara setelah masuknya waktu maghrib (terbenamnya matahari). Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu “ (Q.S. al-Baqarah;185)
Oleh karena itu, kewajiban shalat isyak tidak gugur. Dengan dasar qiyas kewajiban shalat di 3 hari pertama dari kemunculan Dajjal. Sebagaimana hadits riwayat imam Ahmad :

قَالَ أَرْبَعُونَ يَوْمًا يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِي كَسَنَةٍ أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلَاةُ يَوْمٍ قَالَ لَا اقْدُرُوا لَهُ ، رواه مسلم واحمد

Para sahabat bertanya kepada Rasulullah perihal lamanya dajjal di dunia, maka Rasulullah menjawab :” masa dajjal hanya 40 hari, hari pertama seperti satu tahun, hari kedua seperti satu bulan, hari ketiga seperti satu minggu, lalu hari-hari berikutnya seperti hari-hari kalian (24 jam). Kami lalu bertanya :” Ya Rasulullah, apakah satu hari seperti satu tahun lamanya cukup bagi kami mengerjakan shalat satu hari saja (5 waktu dalam hari yang lamanya setahun) ?, Nabi menjawab :” tidak, akan tetapi ukurlah sesuai waktu shalat kalian dalam hari-hari biasa !”. (H.R. Muslim dan Ahmad).

Ini sesuai dengan pendapat para ulama’ kontemporer yang ditetapkan di Saudi Arabiah nomor 61 tertanggal 12 Robi’us Tsani 1398 H, sebagai berikut :

“ Barang siapa yang bertempat tinggal di Negara-negara yang masih dapat dibedakan antara siang dan malamnya dengan terbitnya dan tebenamnya matahari, hanya saja siangnya sangat panjang ketika musim panas dan pendek ketika musim dingin, maka wajib baginya shalat 5 waktu pada waktu-waktu yang telah ditentukan syari’at, didasarkan pada sifat umum pada firman Allah Ta’ala :

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (78)

“ Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh, Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Q.S. al-Isra’ : 78)
Dan barang siapa yang bertempat tinggal di Negara yang tidak terbenam matahari di waktu musim panas dan tidak terbit di musim dingin atau di Negara yang hanya mengalami siang hari selama 6 bulan atau hanya mengalami malam hari selama 6 bulan, maka tetap wajib untuk mengerjakan shalat 5 waktu pada setiap 24 jamnya dan memperkirakan serta menetapkan waktu-waktunya dengan mendasarkan pada waktu-waktu shalat di Negara tetangga terdekat yang tidak mengalami kondisi seperti ini (dapat dibedakan waktu shalat yang satu dengan yang lain), sebagaimana ketetapan Nabi pada hadits riwayat Imam Muslim dan Ahmad di atas.”

2. Jamak taqdim shalat maghrib dan isyak.
Menjamak taqdim shalat maghrib dan isyak pada kondisi di atas , menurut pendapat mayoritas ulama’ tidak diperbolehkan sebab jamak hanya diperbolehkan ketika safar/bepergian atau turun hujan. Namun jika tidak menjamak dapat menyebabkan meninggalkan shalat, maka anda bisa mengikuti pendapat sebagian ulama’ diperbolehkan untuk jamak taqdim di waktu shalat maghrib karena keadaan yang mendesak bukan karena perubahan waktu yang terjadi. Hanya saja jika anda terbangun di waktu shalat isyak (sebelum subuh), maka alangkah baiknya anda mengulangi kembali shalat isyak sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah.

ibarot

قضايا الفقه والفكر المعاصر للدكتور وهبة الزحيلي /31-34

الصلاة والصيام في المناطق القطبية الشمالية

المعروف في البلاد المعتدلة تقارب الليل و النهار أحيانا يزيد النهار قليلا عن الليل كما في الشتاء, و قد يكون النهار في الصيف حوالي (16) ساعة, أم المناطق القطبية,فيتساوى فيها نصف العام مع النصف الأخر حيث يكون النهار ستة أشهر و الليل ستة أشهر , وقد تغرب الشمش قبل الساعة العاشرة صباحا كما في البلغارية ,وقد يمتد النهر و الصيام إلى اكثر من (18) ساعة كما في الدانمارك والسيد أحيانا,وقد يكون وقت صلاة العشاء في الدانمارك بعد الساعة الحادية عشر ليلا,و هذا لا يتحمله الأطفال غالبا الذين يبكلرون غلى مدارسهم في الساعة السادسة صباحا.

وهذه الظاهرة توقع الناس في حرج أو مشقة غير محتملة,سواء في الصلاة أو الصيام , فما الحكم الشرعي في ذالك؟ ولا فرق في ذالك بين المناطق القطبية ألتي لاتغيب فيها الشمش مطلقا او يستمر فيها الليل,ولا تتميز فيها الأوقات الخمسة و بين بعض البلاد القريبة من المناطق القطبية ألتي قد توجد فيها فترات لايظهر فيها وقت العشاء,أو يطلع الفجر بعد المغيب الشفق مباشرة.

فإذا تساوى الليل و النهارفي سنة كاملة .صلى المسلم خمس صلوات فقط موزعة على خمسة أوقات في السنة كلها ,وقد تكون الصلوات المفروضة أربعا أو أقل ,على حسب طول النهار وقصره ,ويؤدي ذلك أيضا إلى تكليف المسلم بصوم رمضان ولا رمضان عنده .وقد يصوم (23)ساعة أو أكثر ,وبلاد البلغار يطلع فيها الفجر قبل غروب الشفق في أربعينية الصيف في أقصر ليالي السنة.

وهذا لا يتفق مع منطق التكليف وسماحة الإسلام .لأنه “إذا ضاق الأمر إتسع”و”المشقة تجلب التيسير”.

ذهب بعض العلماء الحنفية إلى سقوط التكليف بصلاة أو أكثر .أو صوم لعدم وجود السبب وهو الوقت وعدم القدرة والإمكان .وعدم الفائدة المرجوة من التكليف .قالوا :ولا ينوي القضاء لفقد وقت الأداء ,و هذا غير مقبول لدي الفقهاءالحنفية على المعتمد ,لعموم التكليف في النصوص الشرعية ,دون فرق بين مسلم و مسلم ,ولا بين قطر وقطر

والراجح في المذهب الحنفي وغيره من المذاهب القول بوجوب الصلوات المفروضة دون سقوطها على أصحاب البلاد ,وتكون الصلاة أداء لا قضاء ,لعموم أدلة التكليف في نصوص القران الكريم والسنة النبوية دون أستثناء أحد من وجوب الصلوات الخمس في أوقانها ,وجعلها شرعا دائما لأهل الأمصار ,نت غير تمييز بين قطر و اخر ,على أن يقدر وقت لكل صلات على حدة ,

واختلفوا في معنى القدير,فهو عند الحنفية بالمعنى الاظهر: افتراض أن الوقت الذي هو سبب الوجوب موجود,وإن كان الوقت وقتا لصلاة اخرى كالصبح مثلا, مع أن صلاة العشاء لم تعدّ بعد, وهو ما اختاره الكمال بن الهمام في فتح القدير, وتبعه ابن شحنة.وعند بقية المذاهب :يكون التقدير لكل صلاة بحساب مواقيت اقرب البلاد المعتدلة إليهم ,اي حساب البلاد القريبة منهم, التي تتميز فيها أوقات الصلوات الخمس و الصيام,فيقدرون قدر ما يغيب فيه الشفق بأقرب البلاد إليهم,وهو ما صرح به الشافعيةكما يقدر عادم القوت المجزئ في فطرة الصيام بحسب السائد في بلده,أي فإن كان شفقهم يغيب عند ربع ليلهم مثلا,أعتبر من ليل هؤلاء بالنسبة, لا انهم لايبصرون بقدر ما يمضي من ليلهم,لأنه ربما استغرق ذالك ليلهم كلهوويبقى وقت العشاء إلى طلوغ الفجر الصادق,ففي بلغارية مثلا يؤخذ بتوقيت تركيا جنوب البلغار,لقوله تعالى: يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر  (البقرة: 2\185).

واستدل هؤلاء الموجبون بأداء جميع الصلوات في أوقاتها دون إسقاط شيء منها بالقياس على أيام الدجال,الذي هو من علامات الساعة الكبرى,فقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم بالتقدير فيها,ونص الحديث هو ((ذكر النبي صلى الله عليه وسلم الدجال ولبثه في الأرض أربعين يوما:يوم كسنة,ويوم كشهر ,ويوم كجمعة,وسائر أيامه كأيامكم.قال الراوي: قلنا يا رسول الله,أرأيت اليوم الذي كسنة, أتكفينا فيه صلاة يوم ؟ قال : لا, ولكن اقدروا له)) أي صلوا صلاة سنة في اليوم الذي هو كسنة, وقدروا لكل صلاة وقتا وهذا مارجحه علماء العصر, وهو قرار  هيئة كبار العلماء في السعودية برقم (61) وتاريخ 12/4/1398 هـ

و نصه : من كان يقيم في بلاد يتمايز فبها الليل من النهار بطلوع فجر و غروب شمس, الا أن نهارها يطول جدا في الصيف ويقصر في الشتاء,وجب عليه أن يصلي الصلوات الخمس في أوقاتها المعروفة شرعا,لعموم قوله تعالى : ((أقم الصلاة لدلوك الشمس إلى غسق الليل وقران الفجر إن قران الفجر كان مشهودا ))  الإسراء:17/78

ومن كان يقيم في بلاد لا تغيب عنها الشمس صيفا ولاتطلع فيها شتاء او في بلاد يستمر نهارها الى ستة أشهر و يستمر ليلها إلى ستة أشهر مثلا وجب عليهم ان يصلوا الصلوات الخمس ,في كل أربع و عشرين ساعة و أن يقدروا لها اوقاتها و يجددها,معتمدين في ذالك على أقرب بلاد إليهم تتمايز فيها الصلوات المفروضة بعضها على بعض,لما ثبت (أن النبي صلى الله عليه وسلم حدث أصحابه عن المسيح الدجال,فقالوا ما لبثه في الأرض؟قال:أربعون يوما يوم كسنة و يوم كشهر و يوم كجمعة و سائر أيامه كأيامكم.فقيل يا رسول الله الذي كسنة,أتكفين فيه صلاة يوم قال:لا,أقدروا له.

فيجب على المسلمين في البلاد المذكورة أن يحددوا أوقات الصلاة معتمدين في ذلك على أقرب بلاد معتدلة لهم ,يتمايز فيها الليل من النهار .وتعرف فيها أوقات الصلوات الخمس بعلاماتها الشرعية ,في كل أربع وعشرين ساعة.

العرف الشذي للكشميري – (ج 3 / ص 363)

قوله : ( يوم كسنة إلخ ) قيل : إنه تصوير لشّدة الابتلاء وليس في الواقع سنة ، وقيل : إن في ذلك الزمان يكون تكاثف السحب والأمطار والظلمة ولا يرى النهار ، ولا ريب أن القحط أيضاً يكون في ذلك الزمان كما في بعض الروايات ، وقيل : يكون يوم سنة في الواقع وقرينة لفظ ( ولكن اقدروا . إلخ ) لفظ حديث الباب ، وتمسك ابن همام على أن صلوات أهل بلغار خمس بهذا الحديث ، وفي بلغار يطلع الصبح حين غيبوبة الشفق بعد غروب الشمس ومختار الشيخ ابن همام ، واختاره شمس الأئمة الحلواني ، واختار البقالي الأربع ، ولما بلغ الحلواني ما اختاره البقالي أرسل الحلواني رجلاً إلى البقالي فبلغ الرجل والبقالي يعظ الناس فقال الرجل : ما حال من أسقط خامسة الصلوات؟ فقال : حاله كمن يتوضأ وسقط يده فسكت الرجل وذهب إلى الحلواني وبلغه ما ورد به . أقول : إن الصلوات عليهم خمس ، ولكن حال الصلاة وحال رمضان عليهم كيف يكون حكمه ولم يتوجه إلى هذا أحد إلا الشوافع توجهوا إلى الصلاة ، ويقولون : إن أهل بلغار يمرون على حساب من قريب منهم ويجدون وقت العشاء ، وأما ابن بطوطة السياح صاحب الرحلة قال : بلغت بلغار وصمت ثمة معهم ولم أجد شيئاً من الكلفة على نفسي : وأما بعض البلاد مثل قاذان فلا يوجد الشفق الأحمر أيضاً بل إذا غربت الشمس طلعت الفجر ، وكان فيهم ملا بهاء الدين الحنفي المرجاني وهو ذكي الطبع وله حواشي على الكتب ، وصنف رسالة فيما نحن فيه ولم أجدها ، ونقل النواب في رسالة عبارة الشيخ رفيع الدين الدهلوي رحمه الله .

شرح النووي على مسلم – (ج 9 / ص 327)

وَأَمَّا قَوْلهمْ : ( يَا رَسُول اللَّه فَذَلِكَ الْيَوْم الَّذِي كَسَنَةٍ أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلَاة يَوْم ؟ قَالَ : لَا اُقْدُرُوا لَهُ قَدْره ) فَقَالَ الْقَاضِي وَغَيْره : هَذَا حُكْم مَخْصُوص بِذَلِكَ الْيَوْم شَرَعَهُ لَنَا صَاحِب الشَّرْع . قَالُوا : وَلَوْلَا هَذَا الْحَدِيث ، وَوُكِلْنَا إِلَى اِجْتِهَادنَا ، لَاقْتَصَرْنَا فِيهِ عَلَى الصَّلَوَات الْخَمْس عِنْد الْأَوْقَات الْمَعْرُوفَة فِي غَيْره مِنْ الْأَيَّام . وَمَعْنَى ( اُقْدُرُوا لَهُ قَدْره ) أَنَّهُ إِذَا مَضَى بَعْد طُلُوع الْفَجْر قَدْر مَا يَكُون بَيْنه وَبَيْن الظُّهْر كُلّ يَوْم فَصَلُّوا الظُّهْر ، ثُمَّ إِذَا مَضَى بَعْده قَدْر مَا يَكُون بَيْنهَا وَبَيْن الْعَصْر فَصَلُّوا الْعَصْر ، وَإِذَا مَضَى بَعْد هَذَا قَدْر مَا يَكُون بَيْنهَا وَبَيْن الْمَغْرِب فَصَلُّوا الْمَغْرِب ، وَكَذَا الْعِشَاء وَالصُّبْح ، ثُمَّ الظُّهْر ، ثُمَّ الْعَصْر ، ثُمَّ الْمَغْرِب ، وَهَكَذَا حَتَّى يَنْقَضِي ذَلِكَ الْيَوْم . وَقَدْ وَقَعَ فِيهِ صَلَوَات سِتَّة ، فَرَائِض كُلّهَا مُؤَدَّاة فِي وَقْتهَا . وَأَمَّا الثَّانِي الَّذِي كَشَهْرٍ ، وَالثَّالِث الَّذِي كَجُمْعَةٍ ، فَقِيَاس الْيَوْم الْأَوَّل أَنْ يُقَدَّر لَهُمَا كَالْيَوْمِ الْأَوَّل عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ ، وَاَللَّه أَعْلَم .

عون المعبود – (ج 9 / ص 359)

( وَسَائِر أَيَّامه ) : أَيْ بِوَاقِي أَيَّامه قَالَ النَّوَوِيّ قَالَ الْعُلَمَاء : هَذَا الْحَدِيث عَلَى ظَاهِره وَهَذِهِ الْأَيَّام الثَّلَاثَة طَوِيلَة عَلَى هَذَا الْقَدْر الْمَذْكُور فِي الْحَدِيث ، يَدُلّ عَلَيْهِ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَائِر أَيَّامه كَأَيَّامِكُمْ اِنْتَهَى . قُلْت : فَمَا قِيلَ الْمُرَاد مِنْهُ أَنَّ الْيَوْم الْأَوَّل لِكَثْرَةِ غُمُوم الْمُؤْمِنِينَ وَشِدَّة بَلَاء اللَّعِين يُرَى لَهُمْ كَالسَّنَةِ ، وَفِي الْيَوْم الثَّانِي يَهُون كَيْده وَيَضْعُف مُبْتَدَأ أَمْره فَيُرَى كَشَهْرٍ ، وَالثَّالِث يُرَى كَجُمُعَةٍ لِأَنَّ الْحَقّ فِي كُلّ وَقْت يَزِيد قَدْرًا وَالْبَاطِل يَنْقُص حَتَّى يَنْمَحِق أَثَرًا أَوْ لِأَنَّ النَّاس كُلَّمَا اِعْتَادُوا بِالْفِتْنَةِ وَالْمِحْنَة يَهُون عَلَيْهِمْ إِلَى أَنْ تَضْمَحِلّ شِدَّتهَا مَرْدُود وَبَاطِل

( اقْدُرُوا لَهُ قَدْره ) : قَالَ الْقَارِي : نَقْلًا عَنْ بَعْض الشُّرَّاح أَيْ اقْدُرُوا الْوَقْت صَلَاة يَوْم فِي يَوْم كَسَنَةٍ مَثَلًا قَدْره أَيْ قَدْرَه الَّذِي كَانَ لَهُ فِي سَائِر الْأَيَّام كَمَحْبُوسٍ اِشْتَبَهَ عَلَيْهِ الْوَقْت اِنْتَهَى . وَقَالَ النَّوَوِيّ : مَعْنَى اقْدُرُوا لَهُ قَدْره أَنَّهُ إِذَا مَضَى بَعْد طُلُوع الْفَجْر قَدْر مَا يَكُون بَيْنه وَبَيْن الظُّهْر كُلّ يَوْم فَصَلُّوا الظُّهْر ثُمَّ إِذَا مَضَى بَعْده قَدْر مَا يَكُون بَيْنهَا وَبَيْن الْعَصْر فَصَلُّوا الْعَصْر وَإِذَا مَضَى بَعْد هَذَا قَدْر مَا يَكُون بَيْنهَا وَبَيْن الْمَغْرِب فَصَلُّوا الْمَغْرِب وَكَذَا الْعِشَاء وَالصُّبْح ثُمَّ الظُّهْر ثُمَّ الْعَصْر ثُمَّ الْمَغْرِب وَهَكَذَا حَتَّى يَنْقَضِي ذَلِكَ الْيَوْم وَقَدْ وَقَعَ فِيهِ صَلَوَات سَنَة فَرَائِض كُلّهَا مُؤَدَّاة فِي وَقْتهَا . وَأَمَّا الثَّانِي الَّذِي كَشَهْرٍ وَالثَّالِث الَّذِي كَجُمُعَةٍ فَقِيَاس الْيَوْم الْأَوَّل أَيْ يُقَدَّر لَهُمَا كَالْيَوْمِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ اِنْتَهَى . وَقَالَ الْقَاضِي وَغَيْره : هَذَا حُكْم مَخْصُوص بِذَلِكَ الْيَوْم شَرَعَهُ لَنَا صَاحِب الشَّرْع قَالُوا : وَلَوْلَا هَذَا الْحَدِيث وَوُكِلْنَا إِلَى اِجْتِهَادنَا لَاقْتَصَرْنَا فِيهِ عَلَى الصَّلَوَات الْخَمْس عِنْد الْأَوْقَات الْمَعْرُوفَة فِي غَيْره مِنْ الْأَيَّام نَقَلَهُ النَّوَوِيّ

كفاية الأخيار – (1 / 140)

( فرع ) المعروف من المذهب أنه لا يجوز الجمع بالمرض ولا الوحل ولا الخوف وادعى إمام الحرمين الإجماع على امتناعه بالمرض وكذاادعى إجماع الأمة على ذلك الترمذي ودعوى الإجماع منهما ممنوع فقد ذهب جماعة من أصحابنا وغيرهم إلى جواز الجمع بالمرض منهم القاضي حسين والمتولي والروياني والخطابي والإمام أحمد ومن تبعه على ذلك وفعله ابن عباس رضي الله عنهما فأنكره رجل من بني تميم فقال له ابن عباس رضي الله عنهما أتعلمني السنة لا أم لك وذكر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم فعله قال ابن شقيق فحاك في صدري من ذلك شيء فأتيت أبا هريرة رضي الله عنه فسألته عن ذلك فصدق مقالته وقصة ابن عباس وسؤال ابن شقيق ثابتان في صحيح مسلم قال النووي القول بجواز الجمع بالمرض ظاهر مختار فقد ثبت في صحيح مسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم  ( جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر ) قال الأسنائي وما اختار النووي نص عليه الشافعي في مختصر المزني ويؤيده المعنى أيضا فإن المرض يجوز الفطر كالسفر فالجمع أولى بل ذهب جماعة من العلماء إلى جواز الجمع في الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وبه قال أبو إسحاق المروزي ونقله عن القفال وحكاه الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره ابن المنذر من أصحابنا وبه قال أشهب من أصحاب مالك وهو قول ابن سرين ويشهد له قول ابن عباس رضي الله عنهما أراد أن لا يحرج أمته حين ذكر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ( جمع بالمدينة بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء من غير خوف ولا مطر ) فقال سعيد بن جبير لم فعل ذلك فقال لئلا يحرج أمته فلم يعلله بمرض ولا غيره واختار الخطابي من أصحابنا أنه يجوز الجمع بالوحل فقط والله أعلم قال  باب صلاة الجمعة

CARA BERIBADAH DILUAR ANGKASA

Gak kepikiran juga, gimana kalo seorang muslim jadi astronot, gimana dia sholat, gimana dia puasa (kalo kebetulan pas Ramadhan), gimana dia wudhu, etc, soalnya saya sendiri gak kepikiran mau jadi astronot. Sampai gak sengaja nemu artikel ini, bersumber keputusan dari Department of Islamic Development Malaysia, dari hasil diskusi tim yang terdiri dari 150 ilmuwan muslim dan sarjana, yang berisi:

1. Istinja': boleh menggunakan tisu, minimal 3 buah tisu.

2. Bersuci dari hadast
    a. Kecil : tayammum, bisa menggunakan dinding,  atau cermin dari stasiun luar angkasa tersebut
    b. Besar: sama seperti hadast kecil

3. Arah kiblat: menghadap kiblat yang mungkin, prioritas dari atas:
    a. menghadap Ka'bah
    b. menghadap proyeksi Ka'bah
    c. menghadap bumi
    d. menghadap mana saja

4. Waktu Shalat: waktu shalat tetap terbagi menjadi 24 jam, sesuai dengan waktu di mana astronot itu meluncur (berangkat)

5. Shalat:
    a. boleh dilakukan Shalat Jamak dan Qashar
    b. posisi shalat: (prioritas dari atas ke bawah)
        - jika tidak mampu berdiri, maka posisi seperti berdiri
        - duduk
        - berbaring ke sisi kanan dengan tubuh menghadap kiblat
        - berbaring telentang
        - menggunakan kedipan mata untuk tanda mengganti posisi Shalat
        - membayangkan saat Shalat

6. Puasa: Puasa boleh dilakukan di stasiun luar angkasa  tersebut, atau di bayar pas kembali ke Bumi. Waktu puasa sesuai dengan zona wilayah dimana astronot tadi meluncur (berangkat)

7. Perawatan jenazah: jenazah harus dipulangkan ke bumi untuk dimakamkan sebagaimana mestinya. Bila tidak memungkinkan, jenazah harus dikuburkan di luar angkasa dengan pemakaman yang sedehana.


Hal-hal lain:
1. Makanan: Jika ada keraguan apakah makanan di stasiun luar angkasa itu halal atau haram, maka dibolehkan memakan, asal dalam kondisi darurat (kelaparan)

2. Aurat: tetap