Sabtu, 12 November 2011

Macam-macam taqdir

Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Macam-macam takdir itu antara lain:

1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum).
2. At-Taqdiirul Basyari (Takdir yang berlaku untuk manusia).
3. At-Taqdiirul 'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia).
4. At-Taqdiirus Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan).
5. At-Taqdiirul Yaumi (Takdir yang berlaku harian).

1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum).
Ialah takdir Rabb untuk seluruh alam, dalam arti Dia mengetahuinya (dengan ilmu-Nya), mencatatnya, menghendaki, dan juga menciptakannya.

Jenis ini ditunjukkan oleh berbagai dalil, di antaranya firman Allah Ta'ala:

"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah". [Al-Hajj: 70]

Dalam Shahiih Muslim dari 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. "Beliau bersabda, "Dan adalah 'Arsy-Nya di atas air."[2]

2. At-Taqdiirul Basyari [3] (Takdir yang berlaku untuk manusia).
Ialah takdir yang di dalamnya Allah mengambil janji atas semua manusia bahwa Dia adalah Rabb mereka, dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka akan hal itu, serta Allah menentukan di dalamnya orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka. Dia berfirman:

"Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Rabb-mu. Mereka menjawab, Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)." [Al-A'raaf:172]

Dari Hisyam bin Hakim, bahwa seseorang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu mengatakan, "Apakah amal-amal itu dimulai ataukah ditentukan oleh qadha'?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

"Allah mengambil keturunan Nabi Adam Alaihissalam dari tulang sulbi mereka, kemudian menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka, kemudian mengumpulkan mereka dalam kedua telapak tangan-Nya seraya berfirman, 'Mereka di Surga dan mereka di Neraka.' Maka ahli Surga dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Surga dan ahli Neraka dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Neraka." [4]

3. At-Taqdiirul 'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia).
Ialah segala takdir (ketentuan) yang terjadi pada hamba dalam kehidupannya hingga akhir ajalnya, dan juga ketetapan tentang kesengsaraan atau kebahagiaannya.

Hal tersebut ditunjukkan oleh hadits ash-Shadiqul Mashduq (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) dalam Shahiihain dari Ibnu Mas'ud secara marfu':

"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama mpat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu pula (empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat: untuk menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia(nya)."[5]

4. At-Taqdiirus Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan).
Yaitu dalam malam Qadar (Lailatul Qadar) pada setiap tahun. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala:

"Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." [Ad-Dukhaan: 4]

Dan dalam firman-Nya:

"Pada malam itu turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." [Al-Qadr: 4-5]

Disebutkan, bahwa pada malam tersebut ditulis apa yang akan terjadi dalam setahun (ke depan,-ed.) mengenai kematian, kehidupan, kemuliaan dan kehinaan, juga rizki dan hujan, hingga (mengenai siapakah) orang-orang yang (akan) berhaji. Dikatakan (pada takdir itu), fulan akan berhaji dan fulan akan berhaji.

Penjelasan ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, demikian juga al-Hasan serta Sa'id bin Jubair. [6]

5. At-Taqdiirul Yaumi (Takdir yang berlaku harian)
Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Setiap waktu Dia dalam kesibukan." [Ar-Rahmaan: 29]

Disebutkan mengenai tafsir ayat tersebut: Kesibukan-Nya ialah memuliakan dan menghinakan, meninggikan dan merendahkan (derajat), memberi dan menghalangi, menjadikan kaya dan fakir, membuat tertawa dan menangis, mematikan dan menghidupkan, dan seterusnya. [7]

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Footenotes
[1]. Lihat, A'laamus Sunnah al-Mansyuurah, hal. 129-133 dan komentar Syaikh Ibnu Baz atas al-Waasithiyyah, hal. 78-80.
[2]. HR. Muslim, (VIII/51).
[3]. Syaikh Abdul Aziz bin Baz memberikan komentar terhadap pembagian yang kedua ini seraya berucap, 'Bahwa takdir yang kedua ini masuk kedalam takdir yang pertama, oleh sebab itu Abul 'Abbas, Ibnu Taimiyyah, menolaknya dalam kitab al-Aqiidah al-Waasitiyyah, begitu juga banyak dari para ulama lainnya yang saya ketahui.
[4]. HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah, yang diteliti oleh Syaikh al-Albani, (I/73), dan al-Albani menilai sanadnya shahih dan para perawinya semuanya terpercaya, dan as-Suyuthi dalam ad-Durul Mantsuur, (III/604), ia mengatakan, Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Jarir, al-Bazzar, ath-Thabrani, al-Ajurri dalam asy-Syarii'ah, Ibnu Mardawaih, dan al-Baihaqi dalam al-Asmaa' wash Shifaat.
[5]. HR. Al-Bukhari, (VII/210, no. 3208), Muslim, (VIII/44, no. 2643), dan Ibnu Majah, (I/29, no. 76). (Dan lafazhnya adalah dari riwayat Muslim,-ed.)
[6]. Lihat, Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, (VII/338), Tafsiir al-Qur-aanil 'Azhiim, Ibnu Katsir, (IV/140), dan Fat-hul Qadiir, asy-Syaukani, (IV/572).
[7]. Lihat, Zaadul Masiir, (VIII/114), Tafsiir al-Qur-aanil Azhiim, Ibnu Katsir, (IV/275), dan Fat-hul Qadiir, (V/136).

kdir ada dua

Al-Qadarul Mutsbat & Al-Qadarul Mu’allaq

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).� (Ar-Ra’ad, QS 13: 39)

Sebagian orang ada yang bertanya-tanya, jika rizki telah dituliskan (tidak bertambah dan tidak berkurang) dan ajal telah ditentukan (tidak dapat dimajukan dan dimundurkan), lalu bagaimana halnya dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim!� (Muttafaq ‘alaih).

Jawabannya adalah, bahwa qadar itu ada dua macam yaitu:
1. Al-Qadarul Mutsbat (qadar yang telah tetap dan pasti).
Yaitu apa yang telah tertulis dalam Ummul-Kitab (al-Lauhul Mahfuzh). Qadar ini tetap, tidak berubah. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: “Allah telah menetapkan ketentuan-ketentuan para makhluk 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi…� (HR. Muslim, VIII/51)

2. Al-Qadarul Mu’allaq atau Muqayyad (qadar yang tergantung atau terikat).
Yaitu, apa yang tertulis dalam catatan-catatan Malaikat, sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: “Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti
itu pula (empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat: untuk menulis rizkinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagia(nya)…� (HR. Bukhari, No. 3208; Muslim, No. 2643; Ibnu Majah, No. 76. Lafazhnya adalah dari riwayat Muslim). Maka inilah yang bisa dihapuskan dan ditetapkan.

Ajal, rizki, umur, dan selainnya yang ditetapkan dalam Ummul-Kitab, tidak berubah. Adapun dalam lembaran-lembaran yang ada pada tangan Malaikat, maka bisa dihapuskan, ditetapkan, ditambah, dan dikurangi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Ajal (umur) itu ada dua: ajal mutlak yang (hanya) diketahui oleh Allah, dan ajal yang terikat. Dengan ini menjadi jelaslah makna sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim!�
Allah memerintahkan Malaikat untuk mencatat ajal untuknya seraya mengatakan: “Jika ia menyambung tali silaturahim, maka Aku menambahkan kepadanya demikian dan demikian.� Sedangkan Malaikat tidak tahu apakah bertambah atau tidak. Tetapi Allah mengetahui perkara yang sebenarnya. Jika ajal telah datang, maka tidak dicepatkannya dan tidak diakhirkan. (Majmuu’ul Fataawaa, VIII/517)

Rizki itu dua macam: salah satunya, apa yang diketahui oleh Allah bahwa Dia memberi rizki kepadanya, maka hal ini tidak berubah. Kedua, apa yang dituliskan dan diberitahukannya kepada para Malaikat, maka hal ini bertambah dan berkurang, menurut sebab-sebabnya. (Ibid.)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
Seperti dikatakan kepada Malaikat, misalnya: “Umur fulan seratus tahun jika menyambung tali silaturahim, dan enam puluh tahun jika memutuskannya.� Tetapi telah diketahui oleh Allah sebelumnya bahwa ia akan menyambung atau memutuskannya. Apa yang ada dalam ilmu Allah, maka tidak dimajukan dan tidak ditunda, sedangkan yang ada dalam ilmu Malaikat, maka itulah yang memiliki kemungkinan bertambah dan berkurang. Inilah yang dinyatakan lewat firman-Nya:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).� (Ar-Ra’ad, QS 13: 39)
Maka penghapusan dan penetapan itu adalah berhubungan dengan apa yang ada dalam ilmu Malaikat, sedangkan yang tertulis dalam Ummul-Kitab, yaitu yang berada dalam ilmu Allah Ta’ala, maka tidak ada penghapusan sama sekali. Untuk qadha’ ini dinyatakan dengan qadha’ yang bersifat tetap, sedangkan untuk yang disebutkan sebelumnya dinyatakan dengan qadha’ yang tergantung. (Fathul Baari, X/430; Syarh Shahiih Muslim, an-Nawawi, XVI/114; Ifaadah al-Khabar bin Nashshihi fii Ziyaadatil ‘Umr wa Naqshihi, as-Suyuti)

Kemudian, sebab-sebab yang dengannya rizki akan diperoleh merupakan bagian dari apa yang ditakdirkan Allah dan dituliskan-Nya. Jika telah ditentukan sebelumnya, bahwa hamba akan diberi rizki dengan usahanya, maka Allah mengilhamkan kepadanya untuk berusaha. Maka, rizki yang Dia takdirkan untuknya dengan berusaha, tidak akan diperoleh dengan tanpa berusaha. Sedangkan rizki yang Dia takdirkan untuknya dengan tanpa usaha, seperti kematian orang yang diwarisinya, maka ia (rizki tersebut) akan datang kepadanya dengan tanpa usaha. (Majmuu’ul Fataawaa, VIII/540-541)

Adapun dalam hal mencari rizki tetapi dengan cara yang tidak halal, maka tidak boleh dinisbatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Telah terdapat keterangan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyanjung Rabb-nya dengan mensucikan-Nya dari keburukkan, dalam ucapan beliau : “…Aku penuhi panggilan-Mu dengan senang hati, kebaikan seluruhnya ada di kedua tangan-Mu, dan keburukkan tidaklah dinisbatkan kepada-Mu. Aku berlindung dan bersandar kepada-Mu, Mahasuci Engkau dan Mahatinggi…� (HR. Muslim, No. 771).

Sesungguhnya, ketika Nabi Adam ‘alaihissalam melakukan dosa, maka ia bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya. Sedangkan Iblis, ia tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka Allah melaknat dan mengusirnya. Barangsiapa yang bertaubat, maka ia sesuai dengan sifat Nabi Adam ‘alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan dosanya serta berdalih dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat Iblis. Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka dan orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, Iblis. (Ibid, VIII/64)
Berkaitan dengan hal tersebut, penting kita perhatikan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: “Tidak satu jiwapun yang bernapas melainkan Allah telah menentukan tempatnya baik di surga atau neraka, dan juga telah dituliskan celaka atau bahagianya.â€� (HR. Bukhari â€" Muslim). “…maka ahli surga dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli surga dan ahli neraka dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli neraka.â€� (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Berdasarkan kedua hadits tersebut, maka layak bagi kita untuk segera bermuhasabah (introspeksi) atas diri kita masing-masing, apakah hati kita telah merasa ringan untuk melaksanakan amalan ahli surga, atau justru sebaliknya, merasa ringan untuk melakukan amalan ahli neraka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang senantiasa berjuang untuk melakukan amalan ahli surga. Allahul Musta’an.

Salah satu di antara sebab-sebab lain yang dapat merubah takdir yang telah dicatat oleh Malaikat, adalah do’a. Do’a merupakan perkara yang agung dan mulia, sebab ia dapat menolak takdir dan menghilangkan petaka. Ia bermanfaat terhadap apa yang sudah datang dan apa yang belum datang. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “…Tidak ada yang dapat menolak takdir, kecuali do’a…� (Diriwayatkan oleh Ahmad, V/277; Ibnu Majah, No. 90; at-Tirmidzi, No. 139; dihasankan oleh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’, No. 7687, dan ash-Shahiihah, No. 154).

Namun demikian, karena do’a adalah perkara yang agung dan mulia, maka hendaknya setiap orang yang berdo’a mengetahui Adab dan Sebab Terkabulnya Do’a, sehingga tahu kapan dan bagaimana berdo’a yang sesuai dengan sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.

Abu Muhammad Herman via Pages FB

Selasa, 04 Oktober 2011

KONDISI YANG MEMBOLEHKAN MEMEGANG DAN MEMBAWA ALQURAN TANPA WUDHU

Kalangan Syafiiyyah berpendapat

الشافعية قالوا : يجوز مس المصحف وحمله كلا أو بعضا بشروط : أحدها : أن يحمله حرزا ثانيها : أن يكون مكتوبا على درهم أو جنيه ثالثها : أن يكون بعض القرآن مكتوبا في كتب العلم للاستشهاد به ولا فرق في ذلك بين أن تكون الآيات المكتوبة قليلة : أو كثيرة أما كتب التفسير . فإنه يجوز مسها بغير وضوء بشرط أن يكون التفسير أكثر من القرآن فإن كان القرآن أكثر فإنه لا يحل مسها . رابعها : أن تكون الآيات القرآنية مكتوبة على الثياب كالثياب التي تطرز بها كسوة الكعبة ونحوها خامسها : أن يمسه ليتعلم فيه . فيجوز لوليه أن يمكنه من مسه
وحمله للتعلم . ولو كان حافظا له عن ظهر غيب . فإن تخلف شرط من هذه الشروط فإنه يرحم مس القرآن . ولو آية واحدة

*************************************

Kalangan Syafiiyyah berpendapat bolehnya memegang dan membawa alQuran meski tanpa memakai wudhu bila memenuhi persyaratan berikut ini ;

• Membawanya dalam sesuatu yang dapat menjaga Quran (dalam tas, koper dll. dengan ketentuan tidak niat membawa Quran secara langsung
• Tertulis pada mata uang baik Dinar atau dirham
• Tertulis untuk dalil penguat yang terdapat pada kitab-kitab ilmu pengetahuan baik ayat yang tertulis sedikit ataupun banyak.

Sedang mengenai memegang dan membawa Tafsir Quran ditinjau dari banyak dan sedikitnya tafsir Qurannya, bila uraian tafsirnya lebih banyak ketimbang alqurannya boleh dipegang dan dibawa, bila lebih sedikit tidak boleh.

• Tertulis pada pakaian yang disulam seperti pada kelambu ka’bah
• Memegang dan membawanya untuk belajar

Maka diperkenankan bagi seorang wali memberi kesempatan pada anaknya memegang dan membawa alQuran meskipun anaknya sudah menghafalnya.
Bila salah satu ketentuan ini tidak terpenuhi maka tidak diperkenankan memegang dan membawa alQuran tanpa memakai wudhu meskipun hanya satu ayat dan dengan penghalang (tidak memegangnya secara langsung).

alFiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/48

Rabu, 10 Agustus 2011

Zakat Fitrah Dan Problematikanya


fitrah2 

Zakat fitrah adalah mengeluarkan bahan makanan pokok dengan ukuran tertentu setelah terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadhan (malam 1 Syawwal) dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan .
Zakat fitrah diwajibkan ditahun kedua Hijriyah.
Dasar wajib zakat fitrah  :

عن ابن عمر أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كلّ حرّ أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين ( رواه مسلم )

“Diriwayatkan dari Sayyidina Abdullah bin Umar, Sesungguhnya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah bulan Ramadhan berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum atas setiap orang muslim, merdeka atau budak, laki2 maupun perempuan

Zakat fitrah wajib bagi setiap orang islam yang mampu dan hidup di sebagian bulan Ramadhan serta sebagian bulan Syawwal. Artinya, orang yang meninggal setelah masuk waktu maghrib malam lebaran (malam 1 Syawwal) wajib baginya zakat fitrah (dikeluarkan dari harta peninggalannya). Begitu juga bayi yang dilahirkan sesaat sebelum terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan dan terus hidup sampai setelah terbenamnya matahari malam 1 Syawwal.

Tapi sebaliknya, orang yang meninggal sebelum terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan atau bayi  yang lahir setelah terbenamnya matahari di malam 1 Syawwal tidak diwajibkan baginya zakat fitrah.

Yang dimaksud mampu yaitu, memiliki harta lebih dari :
  1. Kebutuhan makan dan pakaian untuk dirinya dan orang yang wajib dinafkahi pada siang hari raya beserta malam harinya (1 Syawwal dan malam 2 Syawwal) .
  2. Hutang, meskipun belum jatuh tempo (saat membayar).
  3. Rumah yang layak baginya dan orang yang wajib dinafkahi.
  4. Biaya pembantu untuk istri jika dibutuhkan.
Orang yang wajib dinafkahi yaitu :
  1. Anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta.
  2. Anak yang sudah baligh namun secara fisik tidak mampu bekerja seperti lumpuh, idiot, dan sebagainya serta tidak memiliki harta.
  3. Orang tua yang tidak mampu (mu’sir).
  4. Istri yang sah.
  5. Istri yang sudah ditalak roj’i (istri yang pernah dikumpuli dan tertalak satu atau dua) dalam masa iddah.
  6. Istri yang ditalak ba’in  (talak 3) apabila dalam keadaan hamil.
Zakat fitrah berupa makanan pokok mayoritas penduduk daerah setempat.
Ukuran zakat fitrah 1 sho’ beras

Urutan dalam mengeluarkan zakat fitrah ketika harta terbatas.
Orang yang memiliki kelebihan harta seperti di atas tetapi tidak mencukupi untuk fitrah seluruh keluarganya, maka dikeluarkan sesuai urutan berikut :
  1. Dirinya sendiri.
  2. Istri.
  3. Pembantu istri sukarela (tanpa bayaran).
  4. Anak yang belum baligh.
  5. Ayah yang tidak mampu.
  6. Ibu yang tidak mampu.
  7. Anak yang sudah baligh dan tidak mampu (secara fisik dan materi).
Jika kelebihan harta tersebut kurang dari 1 sho’ maka tetap wajib dikeluarkan.

Waktu mengeluarkan zakat fitrah:

1. Waktu wajib, yaitu ketika mendapati sebagian dari bulan Ramadhan dan sebagian dari bulan Syawwal.
2. Waktu jawaz (boleh), yaitu mulai awal Ramadhan.
Dengan catatan orang yang telah menerima fitrah darinya tetap dalam keadaan mustahiq (berhak menerima zakat) dan mukim saat waktu wajib.
Jika saat wajib orang yang menerima fitrah dalam keadaan kaya atau musafir maka wajib mengeluarkan kembali.
3. Waktu fadhilah (utama), yaitu setelah terbitnya fajar hari raya (1 Syawwal) sebelum pelaksanaan shalat ied.
4. Waktu makruh, yaitu setelah pelaksaan shalat ied hingga terbenamnya matahari 1 Syawwal, kecuali karena menunggu kerabat atau tetangga yang berhak menerimanya.
5. Waktu haram, yaitu mengakhirkan hingga terbenamnya matahari 1 Syawwal kecuali karena udzur seperti tidak didapatkan orang yang berhak didaerah itu. Namun wajib menggodho’i.

Syarat sah zakat fitrah:

I. Niat.
Niat wajib dalam hati. Sunnah melafadzkannya dalam madzhab syafi’i.
Niat untuk fitrah diri sendiri:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ نَفْسِي لِلَّهِ تَعَالىَ

(Saya niat mengeluarkan zakat fitrah saya karena Allah Ta’ala)
Niat untuk zakat fitrah orang lain:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ  فُلاَنٍ أَوْ فُلاَنَةْ لِلَّهِ تَعَالىَ

(saya niat mengeluarkan zakat fitrah fulan atau fulanah karena Allah Ta’ala)

CATATAN : Anak yang sudah baligh, mampu secara fisik, tidak wajib bagi orang tua mengeluarkan zakat fitrahnya. Oleh karena itu apabila orang tua hendak mengeluarkan zakat fitrah anak tersebut, maka caranya :
  1. Men-tamlik makanan pokok kepadanya (memberikan makanan pokok untuk fitrahnya agar diniati anak tersebut).
  2. Atau mengeluarkannya dengan seizin anak.
Cara niat zakat fitrah

a. Jika dikeluarkan sendiri, maka diniatkan ketika menyerahkannya kepada yang berhak atau setelah memisahkan beras sebagai fitrahnya. Apabila sudah diniatkan ketika dipisah maka tidak perlu diniatkan kembali ketika diserahkan kepada yang berhak.

b. Jika diwakilkan, diniatkan ketika menyerahkan kepada wakil atau memasrahkan niat kepada wakil. Apabila sudah diniatkan ketika menyerahkan kepada wakil maka tidak wajib bagi wakil untuk niat kembali ketika memberikan kepada yang berhak, namun lebih afdhol tetap meniatkan kembali, tetapi jika memasrahkan niat kepada wakil maka wajib bagi wakil meniatkannya.

II. Menyerahkan kepada orang yang berhak menerima zakat, yaitu ada 8 golongan yang sudah maklum.
Hal–hal yang perlu diperhatikan:

1. Tidak sah memberikan zakat fitrah untuk masjid.
2. Panitia zakat fitrah yang dibentuk oleh masjid, pondok, LSM, dll (bukan BAZ) bukan termasuk amil zakat karena tidak ada lisensi dari pemerintah.
3. Fitrah yang dikeluarkan harus layak makan, tidak wajib yang terbaik tapi bukan yang jelek.
4. Istri yang mengeluarkan fitrah dari harta suami tanpa seizinnya  untuk orang yang wajib dizakati, hukumnya tidak sah.
5. Orang tua tidak bisa mengeluarkan fitrah anak yang sudah baligh dan mampu kecuali dengan izin anak secara jelas.
6. Menyerahkan zakat fitrah kepada anak yang belum baligh hukumnya tidak sah (qobd-nya), karena yang meng-qobd harus orang yang sudah baligh.
7. Zakat fitrah harus dibagikan pada penduduk daerah dimana ia berada ketika terbenamnya matahari malam 1 Syawal. Apabila orang yang wajib dizakati berada di tempat yang berbeda sebaiknya diwakilkan kepada orang lain yang tinggal di sana untuk niat dan membagi fitrahnya.
8. Bagi penyalur atau panitia zakat fitrah, hendaknya berhati-hati dalam pembagian fitrah agar tidak kembali kepada orang yang mengeluarkan atau yang wajib dinafkahi, dengan cara seperti memberi tanda pada fitrah atau membagikan kepada blok lain.
9. Mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) tetap wajib fitrah sekalipun dari hasil fitrah yang didapatkan jika dikategorikan mampu.
10. Fitrah yang diberikan kepada kyai atau guru ngaji hukumnya TIDAK SAH jika bukan termasuk dari 8 golongan mustahiq.
11. Anak yang sudah baligh dan tidak mampu (secara materi) sebab belajar ilmu wajib (fardlu ‘ain atau kifayah) adalah termasuk yang wajib dinafkahi, sedangkan realita yang ada mereka libur pada saat waktu wajib zakat fitrah. Oleh karena itu, caranya harus di-tamlikkan atau dengan seizinnya sebagaimana di atas.
12. Ayah boleh meniatkan fitrah seluruh keluarga yang wajib dinafkahi sekaligus. Namun banyak terjadi kesalahan, fitrah anak yang sudah baligh dicampur dengan fitrah keluarga yang wajib dinafkahi. Yang demikian itu tidak sah untuk fitrah anak yang sudah baligh. Oleh karena itu, ayah harus memisah fitrah mereka untuk di-tamlikkan atau seizin mereka sebagaimana keterangan di atas.

Minggu, 07 Agustus 2011

Waktu Shalat Di Eropa Dan Kutub

kutub 

Di belahan bumi dengan iklim tropis seperti Negara Indonesia hanya mengalami dua musim yaitu musim panas (kemarau) dan musim hujan, hampir tidak mengalami perbedaan yang nampak antara waktu siang dan malam (berjalan secara seimbang). Namun di belahan bumi beriklim sub tropis seperti negara-negara di Benua Eropa atau beriklim kutub seperti sebagian besar daerah Rusia, mengalamai 4 musim yaitu, musim dingin, musim semi, musim panas dan musim gugur, perbedaan waktu antara siang dan malam sering terjadi khususnya pada musim panas dan dingin. Ketika musim panas, siang hari lebih panjang dari malam hari, namun ketika musim dingin malam hari lebih panjang dari siang hari. Bahkan di daerah kutub, ketika musim panas siang hari tanpa malam selama 6 bulan, sedangkan ketika musim dingin malam hari tanpa siang selama 6 bulan. Kadangkala matahari terbenam sebelum jam 10 pagi seperti daerah Bulgaria, atau siang hari selama 18 jam seperti negara Swedia atau masuk waktu isyak pada jam 11 malam seperti negara Denmark. Hal ini akan terasa berat bagi umat Islam untuk mengerjakan shalat 5 waktu atau puasa Ramadhan, khususnya bagi anak-anak yang harus pergi ke sekolah  untuk belajar atau orang dewasa untuk bekerja di pagi hari.

Daerah-daerah yang mengalami perbedaan waktu sebagaimana di atas atau bahkan pada daerah kutub yang tidak ada perubahan siang malamnya dalam 6 bulan akan mempersulit dalam penetapan waktu shalat. Dan adakalanya pada suatu daerah terjadi waktu isya’ hanya dalam hitungan menit setelahnya langsung terbit fajar (waktu subuh), sehingga ada yang masih memungkinkan untuk menetapkan waktu shalat menjadi 5 waktu walaupun mempersulit mereka dalam mengerjakannya, dan bahkan ada yang hanya bisa menetapkan 4 waktu saja karena singkatnya waktu antara satu shalat dengan shalat yang lain.

Kesulitan seperti ini tidak hanya berpengaruh pada pelaksanaan shalat 5 waktu, akan tetapi pada puasa Ramadhan yang sama-sama mendasarkan pada matahari (perubahan siang dan malam). Perubahan waktu semacam ini akan memperberat puasa, karena di musim panas akan mengalami siang yang lebih panjang seperti yang terjadi di negara Bulgaria, hingga mencapai 23 jam, bahkan selama 40 hari di musim panas menjadi hari dengan intensitas malam paling singkat karena matahari sudah terbit sebelum terbenamnya mega (matahari terbit seketika setelah terbenamnya matahari). Kesulitan-kesulitan seperti ini tidak sejalan dengan kaidah hukum islam yaitu keringanan/toleransi, sebagaimana dalam kaidah fikih :

إذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اتَّسَعَ

“ jika suatu perkara semakin sempit (sulit), maka hukumnya semakin meluas (ringan).”
Dan kaidah :

“الْمَشَقَّةَ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ”

“ kesulitan akan menarik pada kemudahan “

Bagaimanakah syari’at menanggapi keadaan semacam ini ?,
Menyikapi keadaan di atas, maka kami akan paparkan pendapat para ulama’ 4 madzhab dalam beberapa masalah berikut :

1. Kewajiban shalat 5 waktu.
Pendapat yang kuat dalam empat madzhab yaitu kewajiban sholat fardhu 5 waktu tidak gugur bahkan terhitung sebagai shalat ada’ bukan qodlo’, berdasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an atau hadist bahwa sholat wajib dikerjakan pada waktunya tanpa ada pengecualian di mana pun berada. Namun apabila terdapat kesulitan di dalam menentukan waktu seperti di negara Bulgaria, daerah kutub atau pada zman Dajjal, maka dengan cara mengikuti waktu shalat di daerah terdekat sesuai pada permasalahan zakat fitrah bagi orang yang hidup di daerah dengan makanan pokok yang tidak sesuai dengan ketentuan Syari’at (seperti susu), maka wajibnya mengeluarkan jenis  makanan pokok daerah terdekat yang sesuai dengan ketentuan Syari’at.
Kesimpulan : pada daerah seperti Bulagria ketika tidak memungkinkan menetapkan waktu isyak dikarenakan matahari terbit sebelum hilangnya mega merah, jika daerah terdekat darinya yaitu Turki (berada di sebelah selatan Bulgaria) mega merah hilang di perempat malam pertama, maka bagi penduduk Bulgaria dapat langsung mengerjakan shalat isyak dengan menisbahkan/memperkirakan selisih waktu antara kedua negara setelah masuknya waktu maghrib (terbenamnya matahari). Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu “ (Q.S. al-Baqarah;185)
Oleh karena itu, kewajiban shalat isyak tidak gugur. Dengan dasar qiyas kewajiban shalat di 3 hari pertama dari kemunculan Dajjal. Sebagaimana hadits riwayat imam Ahmad :

قَالَ أَرْبَعُونَ يَوْمًا يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِي كَسَنَةٍ أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلَاةُ يَوْمٍ قَالَ لَا اقْدُرُوا لَهُ ، رواه مسلم واحمد

Para sahabat bertanya kepada Rasulullah perihal lamanya dajjal di dunia, maka Rasulullah menjawab :” masa dajjal hanya 40 hari, hari pertama seperti satu tahun, hari kedua seperti satu bulan, hari ketiga seperti satu minggu, lalu hari-hari berikutnya seperti hari-hari kalian (24 jam). Kami lalu bertanya :” Ya Rasulullah, apakah satu hari seperti satu tahun lamanya cukup bagi kami mengerjakan shalat satu hari saja (5 waktu dalam hari yang lamanya setahun) ?, Nabi menjawab :” tidak, akan tetapi ukurlah sesuai waktu shalat kalian dalam hari-hari biasa !”. (H.R. Muslim dan Ahmad).

Ini sesuai dengan pendapat para ulama’ kontemporer yang ditetapkan di Saudi Arabiah nomor 61 tertanggal 12 Robi’us Tsani 1398 H, sebagai berikut :

“ Barang siapa yang bertempat tinggal di Negara-negara yang masih dapat dibedakan antara siang dan malamnya dengan terbitnya dan tebenamnya matahari, hanya saja siangnya sangat panjang ketika musim panas dan pendek ketika musim dingin, maka wajib baginya shalat 5 waktu pada waktu-waktu yang telah ditentukan syari’at, didasarkan pada sifat umum pada firman Allah Ta’ala :

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (78)

“ Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh, Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Q.S. al-Isra’ : 78)
Dan barang siapa yang bertempat tinggal di Negara yang tidak terbenam matahari di waktu musim panas dan tidak terbit di musim dingin atau di Negara yang hanya mengalami siang hari selama 6 bulan atau hanya mengalami malam hari selama 6 bulan, maka tetap wajib untuk mengerjakan shalat 5 waktu pada setiap 24 jamnya dan memperkirakan serta menetapkan waktu-waktunya dengan mendasarkan pada waktu-waktu shalat di Negara tetangga terdekat yang tidak mengalami kondisi seperti ini (dapat dibedakan waktu shalat yang satu dengan yang lain), sebagaimana ketetapan Nabi pada hadits riwayat Imam Muslim dan Ahmad di atas.”

2. Jamak taqdim shalat maghrib dan isyak.
Menjamak taqdim shalat maghrib dan isyak pada kondisi di atas , menurut pendapat mayoritas ulama’ tidak diperbolehkan sebab jamak hanya diperbolehkan ketika safar/bepergian atau turun hujan. Namun jika tidak menjamak dapat menyebabkan meninggalkan shalat, maka anda bisa mengikuti pendapat sebagian ulama’ diperbolehkan untuk jamak taqdim di waktu shalat maghrib karena keadaan yang mendesak bukan karena perubahan waktu yang terjadi. Hanya saja jika anda terbangun di waktu shalat isyak (sebelum subuh), maka alangkah baiknya anda mengulangi kembali shalat isyak sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah.

ibarot

قضايا الفقه والفكر المعاصر للدكتور وهبة الزحيلي /31-34

الصلاة والصيام في المناطق القطبية الشمالية

المعروف في البلاد المعتدلة تقارب الليل و النهار أحيانا يزيد النهار قليلا عن الليل كما في الشتاء, و قد يكون النهار في الصيف حوالي (16) ساعة, أم المناطق القطبية,فيتساوى فيها نصف العام مع النصف الأخر حيث يكون النهار ستة أشهر و الليل ستة أشهر , وقد تغرب الشمش قبل الساعة العاشرة صباحا كما في البلغارية ,وقد يمتد النهر و الصيام إلى اكثر من (18) ساعة كما في الدانمارك والسيد أحيانا,وقد يكون وقت صلاة العشاء في الدانمارك بعد الساعة الحادية عشر ليلا,و هذا لا يتحمله الأطفال غالبا الذين يبكلرون غلى مدارسهم في الساعة السادسة صباحا.

وهذه الظاهرة توقع الناس في حرج أو مشقة غير محتملة,سواء في الصلاة أو الصيام , فما الحكم الشرعي في ذالك؟ ولا فرق في ذالك بين المناطق القطبية ألتي لاتغيب فيها الشمش مطلقا او يستمر فيها الليل,ولا تتميز فيها الأوقات الخمسة و بين بعض البلاد القريبة من المناطق القطبية ألتي قد توجد فيها فترات لايظهر فيها وقت العشاء,أو يطلع الفجر بعد المغيب الشفق مباشرة.

فإذا تساوى الليل و النهارفي سنة كاملة .صلى المسلم خمس صلوات فقط موزعة على خمسة أوقات في السنة كلها ,وقد تكون الصلوات المفروضة أربعا أو أقل ,على حسب طول النهار وقصره ,ويؤدي ذلك أيضا إلى تكليف المسلم بصوم رمضان ولا رمضان عنده .وقد يصوم (23)ساعة أو أكثر ,وبلاد البلغار يطلع فيها الفجر قبل غروب الشفق في أربعينية الصيف في أقصر ليالي السنة.

وهذا لا يتفق مع منطق التكليف وسماحة الإسلام .لأنه “إذا ضاق الأمر إتسع”و”المشقة تجلب التيسير”.

ذهب بعض العلماء الحنفية إلى سقوط التكليف بصلاة أو أكثر .أو صوم لعدم وجود السبب وهو الوقت وعدم القدرة والإمكان .وعدم الفائدة المرجوة من التكليف .قالوا :ولا ينوي القضاء لفقد وقت الأداء ,و هذا غير مقبول لدي الفقهاءالحنفية على المعتمد ,لعموم التكليف في النصوص الشرعية ,دون فرق بين مسلم و مسلم ,ولا بين قطر وقطر

والراجح في المذهب الحنفي وغيره من المذاهب القول بوجوب الصلوات المفروضة دون سقوطها على أصحاب البلاد ,وتكون الصلاة أداء لا قضاء ,لعموم أدلة التكليف في نصوص القران الكريم والسنة النبوية دون أستثناء أحد من وجوب الصلوات الخمس في أوقانها ,وجعلها شرعا دائما لأهل الأمصار ,نت غير تمييز بين قطر و اخر ,على أن يقدر وقت لكل صلات على حدة ,

واختلفوا في معنى القدير,فهو عند الحنفية بالمعنى الاظهر: افتراض أن الوقت الذي هو سبب الوجوب موجود,وإن كان الوقت وقتا لصلاة اخرى كالصبح مثلا, مع أن صلاة العشاء لم تعدّ بعد, وهو ما اختاره الكمال بن الهمام في فتح القدير, وتبعه ابن شحنة.وعند بقية المذاهب :يكون التقدير لكل صلاة بحساب مواقيت اقرب البلاد المعتدلة إليهم ,اي حساب البلاد القريبة منهم, التي تتميز فيها أوقات الصلوات الخمس و الصيام,فيقدرون قدر ما يغيب فيه الشفق بأقرب البلاد إليهم,وهو ما صرح به الشافعيةكما يقدر عادم القوت المجزئ في فطرة الصيام بحسب السائد في بلده,أي فإن كان شفقهم يغيب عند ربع ليلهم مثلا,أعتبر من ليل هؤلاء بالنسبة, لا انهم لايبصرون بقدر ما يمضي من ليلهم,لأنه ربما استغرق ذالك ليلهم كلهوويبقى وقت العشاء إلى طلوغ الفجر الصادق,ففي بلغارية مثلا يؤخذ بتوقيت تركيا جنوب البلغار,لقوله تعالى: يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر  (البقرة: 2\185).

واستدل هؤلاء الموجبون بأداء جميع الصلوات في أوقاتها دون إسقاط شيء منها بالقياس على أيام الدجال,الذي هو من علامات الساعة الكبرى,فقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم بالتقدير فيها,ونص الحديث هو ((ذكر النبي صلى الله عليه وسلم الدجال ولبثه في الأرض أربعين يوما:يوم كسنة,ويوم كشهر ,ويوم كجمعة,وسائر أيامه كأيامكم.قال الراوي: قلنا يا رسول الله,أرأيت اليوم الذي كسنة, أتكفينا فيه صلاة يوم ؟ قال : لا, ولكن اقدروا له)) أي صلوا صلاة سنة في اليوم الذي هو كسنة, وقدروا لكل صلاة وقتا وهذا مارجحه علماء العصر, وهو قرار  هيئة كبار العلماء في السعودية برقم (61) وتاريخ 12/4/1398 هـ

و نصه : من كان يقيم في بلاد يتمايز فبها الليل من النهار بطلوع فجر و غروب شمس, الا أن نهارها يطول جدا في الصيف ويقصر في الشتاء,وجب عليه أن يصلي الصلوات الخمس في أوقاتها المعروفة شرعا,لعموم قوله تعالى : ((أقم الصلاة لدلوك الشمس إلى غسق الليل وقران الفجر إن قران الفجر كان مشهودا ))  الإسراء:17/78

ومن كان يقيم في بلاد لا تغيب عنها الشمس صيفا ولاتطلع فيها شتاء او في بلاد يستمر نهارها الى ستة أشهر و يستمر ليلها إلى ستة أشهر مثلا وجب عليهم ان يصلوا الصلوات الخمس ,في كل أربع و عشرين ساعة و أن يقدروا لها اوقاتها و يجددها,معتمدين في ذالك على أقرب بلاد إليهم تتمايز فيها الصلوات المفروضة بعضها على بعض,لما ثبت (أن النبي صلى الله عليه وسلم حدث أصحابه عن المسيح الدجال,فقالوا ما لبثه في الأرض؟قال:أربعون يوما يوم كسنة و يوم كشهر و يوم كجمعة و سائر أيامه كأيامكم.فقيل يا رسول الله الذي كسنة,أتكفين فيه صلاة يوم قال:لا,أقدروا له.

فيجب على المسلمين في البلاد المذكورة أن يحددوا أوقات الصلاة معتمدين في ذلك على أقرب بلاد معتدلة لهم ,يتمايز فيها الليل من النهار .وتعرف فيها أوقات الصلوات الخمس بعلاماتها الشرعية ,في كل أربع وعشرين ساعة.

العرف الشذي للكشميري – (ج 3 / ص 363)

قوله : ( يوم كسنة إلخ ) قيل : إنه تصوير لشّدة الابتلاء وليس في الواقع سنة ، وقيل : إن في ذلك الزمان يكون تكاثف السحب والأمطار والظلمة ولا يرى النهار ، ولا ريب أن القحط أيضاً يكون في ذلك الزمان كما في بعض الروايات ، وقيل : يكون يوم سنة في الواقع وقرينة لفظ ( ولكن اقدروا . إلخ ) لفظ حديث الباب ، وتمسك ابن همام على أن صلوات أهل بلغار خمس بهذا الحديث ، وفي بلغار يطلع الصبح حين غيبوبة الشفق بعد غروب الشمس ومختار الشيخ ابن همام ، واختاره شمس الأئمة الحلواني ، واختار البقالي الأربع ، ولما بلغ الحلواني ما اختاره البقالي أرسل الحلواني رجلاً إلى البقالي فبلغ الرجل والبقالي يعظ الناس فقال الرجل : ما حال من أسقط خامسة الصلوات؟ فقال : حاله كمن يتوضأ وسقط يده فسكت الرجل وذهب إلى الحلواني وبلغه ما ورد به . أقول : إن الصلوات عليهم خمس ، ولكن حال الصلاة وحال رمضان عليهم كيف يكون حكمه ولم يتوجه إلى هذا أحد إلا الشوافع توجهوا إلى الصلاة ، ويقولون : إن أهل بلغار يمرون على حساب من قريب منهم ويجدون وقت العشاء ، وأما ابن بطوطة السياح صاحب الرحلة قال : بلغت بلغار وصمت ثمة معهم ولم أجد شيئاً من الكلفة على نفسي : وأما بعض البلاد مثل قاذان فلا يوجد الشفق الأحمر أيضاً بل إذا غربت الشمس طلعت الفجر ، وكان فيهم ملا بهاء الدين الحنفي المرجاني وهو ذكي الطبع وله حواشي على الكتب ، وصنف رسالة فيما نحن فيه ولم أجدها ، ونقل النواب في رسالة عبارة الشيخ رفيع الدين الدهلوي رحمه الله .

شرح النووي على مسلم – (ج 9 / ص 327)

وَأَمَّا قَوْلهمْ : ( يَا رَسُول اللَّه فَذَلِكَ الْيَوْم الَّذِي كَسَنَةٍ أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلَاة يَوْم ؟ قَالَ : لَا اُقْدُرُوا لَهُ قَدْره ) فَقَالَ الْقَاضِي وَغَيْره : هَذَا حُكْم مَخْصُوص بِذَلِكَ الْيَوْم شَرَعَهُ لَنَا صَاحِب الشَّرْع . قَالُوا : وَلَوْلَا هَذَا الْحَدِيث ، وَوُكِلْنَا إِلَى اِجْتِهَادنَا ، لَاقْتَصَرْنَا فِيهِ عَلَى الصَّلَوَات الْخَمْس عِنْد الْأَوْقَات الْمَعْرُوفَة فِي غَيْره مِنْ الْأَيَّام . وَمَعْنَى ( اُقْدُرُوا لَهُ قَدْره ) أَنَّهُ إِذَا مَضَى بَعْد طُلُوع الْفَجْر قَدْر مَا يَكُون بَيْنه وَبَيْن الظُّهْر كُلّ يَوْم فَصَلُّوا الظُّهْر ، ثُمَّ إِذَا مَضَى بَعْده قَدْر مَا يَكُون بَيْنهَا وَبَيْن الْعَصْر فَصَلُّوا الْعَصْر ، وَإِذَا مَضَى بَعْد هَذَا قَدْر مَا يَكُون بَيْنهَا وَبَيْن الْمَغْرِب فَصَلُّوا الْمَغْرِب ، وَكَذَا الْعِشَاء وَالصُّبْح ، ثُمَّ الظُّهْر ، ثُمَّ الْعَصْر ، ثُمَّ الْمَغْرِب ، وَهَكَذَا حَتَّى يَنْقَضِي ذَلِكَ الْيَوْم . وَقَدْ وَقَعَ فِيهِ صَلَوَات سِتَّة ، فَرَائِض كُلّهَا مُؤَدَّاة فِي وَقْتهَا . وَأَمَّا الثَّانِي الَّذِي كَشَهْرٍ ، وَالثَّالِث الَّذِي كَجُمْعَةٍ ، فَقِيَاس الْيَوْم الْأَوَّل أَنْ يُقَدَّر لَهُمَا كَالْيَوْمِ الْأَوَّل عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ ، وَاَللَّه أَعْلَم .

عون المعبود – (ج 9 / ص 359)

( وَسَائِر أَيَّامه ) : أَيْ بِوَاقِي أَيَّامه قَالَ النَّوَوِيّ قَالَ الْعُلَمَاء : هَذَا الْحَدِيث عَلَى ظَاهِره وَهَذِهِ الْأَيَّام الثَّلَاثَة طَوِيلَة عَلَى هَذَا الْقَدْر الْمَذْكُور فِي الْحَدِيث ، يَدُلّ عَلَيْهِ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَائِر أَيَّامه كَأَيَّامِكُمْ اِنْتَهَى . قُلْت : فَمَا قِيلَ الْمُرَاد مِنْهُ أَنَّ الْيَوْم الْأَوَّل لِكَثْرَةِ غُمُوم الْمُؤْمِنِينَ وَشِدَّة بَلَاء اللَّعِين يُرَى لَهُمْ كَالسَّنَةِ ، وَفِي الْيَوْم الثَّانِي يَهُون كَيْده وَيَضْعُف مُبْتَدَأ أَمْره فَيُرَى كَشَهْرٍ ، وَالثَّالِث يُرَى كَجُمُعَةٍ لِأَنَّ الْحَقّ فِي كُلّ وَقْت يَزِيد قَدْرًا وَالْبَاطِل يَنْقُص حَتَّى يَنْمَحِق أَثَرًا أَوْ لِأَنَّ النَّاس كُلَّمَا اِعْتَادُوا بِالْفِتْنَةِ وَالْمِحْنَة يَهُون عَلَيْهِمْ إِلَى أَنْ تَضْمَحِلّ شِدَّتهَا مَرْدُود وَبَاطِل

( اقْدُرُوا لَهُ قَدْره ) : قَالَ الْقَارِي : نَقْلًا عَنْ بَعْض الشُّرَّاح أَيْ اقْدُرُوا الْوَقْت صَلَاة يَوْم فِي يَوْم كَسَنَةٍ مَثَلًا قَدْره أَيْ قَدْرَه الَّذِي كَانَ لَهُ فِي سَائِر الْأَيَّام كَمَحْبُوسٍ اِشْتَبَهَ عَلَيْهِ الْوَقْت اِنْتَهَى . وَقَالَ النَّوَوِيّ : مَعْنَى اقْدُرُوا لَهُ قَدْره أَنَّهُ إِذَا مَضَى بَعْد طُلُوع الْفَجْر قَدْر مَا يَكُون بَيْنه وَبَيْن الظُّهْر كُلّ يَوْم فَصَلُّوا الظُّهْر ثُمَّ إِذَا مَضَى بَعْده قَدْر مَا يَكُون بَيْنهَا وَبَيْن الْعَصْر فَصَلُّوا الْعَصْر وَإِذَا مَضَى بَعْد هَذَا قَدْر مَا يَكُون بَيْنهَا وَبَيْن الْمَغْرِب فَصَلُّوا الْمَغْرِب وَكَذَا الْعِشَاء وَالصُّبْح ثُمَّ الظُّهْر ثُمَّ الْعَصْر ثُمَّ الْمَغْرِب وَهَكَذَا حَتَّى يَنْقَضِي ذَلِكَ الْيَوْم وَقَدْ وَقَعَ فِيهِ صَلَوَات سَنَة فَرَائِض كُلّهَا مُؤَدَّاة فِي وَقْتهَا . وَأَمَّا الثَّانِي الَّذِي كَشَهْرٍ وَالثَّالِث الَّذِي كَجُمُعَةٍ فَقِيَاس الْيَوْم الْأَوَّل أَيْ يُقَدَّر لَهُمَا كَالْيَوْمِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ اِنْتَهَى . وَقَالَ الْقَاضِي وَغَيْره : هَذَا حُكْم مَخْصُوص بِذَلِكَ الْيَوْم شَرَعَهُ لَنَا صَاحِب الشَّرْع قَالُوا : وَلَوْلَا هَذَا الْحَدِيث وَوُكِلْنَا إِلَى اِجْتِهَادنَا لَاقْتَصَرْنَا فِيهِ عَلَى الصَّلَوَات الْخَمْس عِنْد الْأَوْقَات الْمَعْرُوفَة فِي غَيْره مِنْ الْأَيَّام نَقَلَهُ النَّوَوِيّ

كفاية الأخيار – (1 / 140)

( فرع ) المعروف من المذهب أنه لا يجوز الجمع بالمرض ولا الوحل ولا الخوف وادعى إمام الحرمين الإجماع على امتناعه بالمرض وكذاادعى إجماع الأمة على ذلك الترمذي ودعوى الإجماع منهما ممنوع فقد ذهب جماعة من أصحابنا وغيرهم إلى جواز الجمع بالمرض منهم القاضي حسين والمتولي والروياني والخطابي والإمام أحمد ومن تبعه على ذلك وفعله ابن عباس رضي الله عنهما فأنكره رجل من بني تميم فقال له ابن عباس رضي الله عنهما أتعلمني السنة لا أم لك وذكر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم فعله قال ابن شقيق فحاك في صدري من ذلك شيء فأتيت أبا هريرة رضي الله عنه فسألته عن ذلك فصدق مقالته وقصة ابن عباس وسؤال ابن شقيق ثابتان في صحيح مسلم قال النووي القول بجواز الجمع بالمرض ظاهر مختار فقد ثبت في صحيح مسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم  ( جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر ) قال الأسنائي وما اختار النووي نص عليه الشافعي في مختصر المزني ويؤيده المعنى أيضا فإن المرض يجوز الفطر كالسفر فالجمع أولى بل ذهب جماعة من العلماء إلى جواز الجمع في الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وبه قال أبو إسحاق المروزي ونقله عن القفال وحكاه الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره ابن المنذر من أصحابنا وبه قال أشهب من أصحاب مالك وهو قول ابن سرين ويشهد له قول ابن عباس رضي الله عنهما أراد أن لا يحرج أمته حين ذكر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ( جمع بالمدينة بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء من غير خوف ولا مطر ) فقال سعيد بن جبير لم فعل ذلك فقال لئلا يحرج أمته فلم يعلله بمرض ولا غيره واختار الخطابي من أصحابنا أنه يجوز الجمع بالوحل فقط والله أعلم قال  باب صلاة الجمعة

CARA BERIBADAH DILUAR ANGKASA

Gak kepikiran juga, gimana kalo seorang muslim jadi astronot, gimana dia sholat, gimana dia puasa (kalo kebetulan pas Ramadhan), gimana dia wudhu, etc, soalnya saya sendiri gak kepikiran mau jadi astronot. Sampai gak sengaja nemu artikel ini, bersumber keputusan dari Department of Islamic Development Malaysia, dari hasil diskusi tim yang terdiri dari 150 ilmuwan muslim dan sarjana, yang berisi:

1. Istinja': boleh menggunakan tisu, minimal 3 buah tisu.

2. Bersuci dari hadast
    a. Kecil : tayammum, bisa menggunakan dinding,  atau cermin dari stasiun luar angkasa tersebut
    b. Besar: sama seperti hadast kecil

3. Arah kiblat: menghadap kiblat yang mungkin, prioritas dari atas:
    a. menghadap Ka'bah
    b. menghadap proyeksi Ka'bah
    c. menghadap bumi
    d. menghadap mana saja

4. Waktu Shalat: waktu shalat tetap terbagi menjadi 24 jam, sesuai dengan waktu di mana astronot itu meluncur (berangkat)

5. Shalat:
    a. boleh dilakukan Shalat Jamak dan Qashar
    b. posisi shalat: (prioritas dari atas ke bawah)
        - jika tidak mampu berdiri, maka posisi seperti berdiri
        - duduk
        - berbaring ke sisi kanan dengan tubuh menghadap kiblat
        - berbaring telentang
        - menggunakan kedipan mata untuk tanda mengganti posisi Shalat
        - membayangkan saat Shalat

6. Puasa: Puasa boleh dilakukan di stasiun luar angkasa  tersebut, atau di bayar pas kembali ke Bumi. Waktu puasa sesuai dengan zona wilayah dimana astronot tadi meluncur (berangkat)

7. Perawatan jenazah: jenazah harus dipulangkan ke bumi untuk dimakamkan sebagaimana mestinya. Bila tidak memungkinkan, jenazah harus dikuburkan di luar angkasa dengan pemakaman yang sedehana.


Hal-hal lain:
1. Makanan: Jika ada keraguan apakah makanan di stasiun luar angkasa itu halal atau haram, maka dibolehkan memakan, asal dalam kondisi darurat (kelaparan)

2. Aurat: tetap

Rabu, 27 Juli 2011

Diperbolehkannya Sholat Sunat dengan Cepat termasuk Sholat Taraweh


حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ مَا أَخْبَرَنَا أَحَدٌ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الضُّحَى غَيْرُ أُمِّ هَانِئٍ ذَكَرَتْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ اغْتَسَلَ فِي بَيْتِهَا فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ فَمَا رَأَيْتُهُ صَلَّى صَلَاةً أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ

Bahwa Ummu Hani ra melihat Nabi saw melakukan shalat dhuha, beliau saw mandi di hari fatah makkah (saat itu) lalu shalat 8 rakaat, dan tidak pernah kulihat Rasul saw shalat secepat itu, namun beliau menyempurnakan rukuk dan sujud.
(Shahih Bukhari Bab Al Jum’ah). hadits yg sama teriwayatkan pada shahih Bukhari Bab Al Jum’at pula, hadits yg sama teriwayatkan pada Shahih Bukhari Bab Al Maghaziy.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخْبَرَتْنِي حَفْصَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اعْتَكَفَ الْمُؤَذِّنُ لِلصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ

Dari Hafshah ra sungguh Rasul saw menanti muadzin untuk subuh, dan melakukan shalat qabliyah subuh dg ringan (cepat) sebelum shalat subuh.
(Shahih Bukhari Bab Adzan).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَمَّتِهِ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى هُوَ ابْنُ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى إِنِّي لَأَقُولُ هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ

Dari Aisyah ra berkata : Rasul saw sangat cepat melakukan shalat qabliyah subuh, hingga aku berkata dalam hati apakah beliau saw membaca fatihah atau tidak (dari cepatnya) ( Shahih Bukhari Bab Al Jum’ah).
Hadits diatas dari aisyah ra yg menyaksikan shalat Nabi saw sedemikian seakan tidak membaca fatihah teriwayatkan pula pada shahih Muslim pada Bab shalatul musafirin wa qashriha), teriwayatkan dua hadits yg sama pada bab yg sama.
Jelas sudah diperbolehkannya shalat sunnah dengan cepat, demikian teriwayatkan pula pada Jami’ul ulum walhikam oleh Ibn Rajab bahwa diantara ulama salaf melakukan shalat sunnah 1.000 rakaat, (Jami’ul ulum walhikam hadits kedua dan hadits no.50).
Bagaimana seorang melakukan shalat 1000 rakaat ?, kecuali ia melakukannya dg cepat.
Jelas sudah diperbolehkannya shalat sunnah dg cepat, namun yg dimaksud menyempurnakan rukuk dan sujud adalah tumaninah, kadar tumaninah adalah sekadar seorang membaca 1x subhanallah, (kurang dari 1 detik), maka jika seorang melakukan shalat, pada i’tidal, rukuk, duduk, dan sujud ia harus berdiam segenap tubuhnya sekadar minimal kadar diatas, jika kurang dari itu maka tidak sah shalatnya.
Sebagaimana beberapa hadits shahih bahwa Rasul saw menegur orang yg shalat cepat dan mengatakan kau belum shalat, karena ia terus bergerak tanpa berhenti sekadar tumaninah. ***

Sumber Habib Munzir Al Musawwa

Kamis, 21 Juli 2011

Bagian 2

Amar Dan Kaidah-Kaidahnya


ا لأ مــر هــو طــلــب ا لــفــعــل مــن ا لأ عــلى ا لى ا لأ د نى

ِAmar adalah tuntutan melakukan pekerjaan dari orang yang derajatnya lebih tinggi kepada orang yang derajatnya lebih rendah.
Bentuk – Bentuk Amar

Fiil Amar co : QS 17 : 79
Fiil Mudhori yang didahului lam amr co QS 65 : 7
Lafad-lafad قــضى – كــتــب – و جــب – فــر ض
Isim Fiil Amar عــلــيــكــم
Masdar pengganti fiil co ا حـــســا نـا co QS 2 : 83
Kalam Khobar bermakna Insya co QS 2 : 228
Makna Amar selain makna perintah

boleh co QS 2: 60
ancaman co أ عــمــلـو ا مـا شــئــتــم
Sunah co : 24 : 33
petunjuk co QS 2 : 282
memuliakan co 15 : 46
menyamakan co QS 52 : 16
Penghinaan QS 2 : 65
Melemahkan QS 2 : 23
pernyataan terhadap nikmat ( imtinan ) co QS 6: 142
10. Penciptaan co 36 : 82

11. Penyerahan ( tafwid ) QS toha : 72

12. Mendustakan 2: 111

13. sedih ( talhif ) 3: 119

14. permohonan ( doa ) 2 : 201

15. Permintaan biasa co. mainlah kerumahku

16. angan-angan ( tamanni ) co memohon semoga muda kembali

17. sopan santun co hadits agar makan makanan yang letaknya dekat dengan tempat duduk.

 

Kaidah-Kaidah Amr


ا لأ صــل فى ا لأ مــر لـلــو جـو ب

Asal dalam perintah menunjukan arti wajib

ا لأ صــل فى ا لأ مــر لـلــو جـو ب و لا تـد لّ عـلى غـيـره ا لأ بــقــر يــنــة

Asal dalam perintah menunjukan arti wajib` kecuali ada dalil yang memalingkanya.

ا لأ صــل فى ا لأ مــر لأ يــقــتـضى ا لــتــكــرا ر

Asal dalam perintah tidak menghendaki pengulangan

ا لــحــكــم يــد و ر مــع ا لــعــلّـة و جـو دا و عــد مـا

Hokum itu berkisar pada : ada atau tidak adanya illat

ا لأ صــل فى الأ مــر لا يــقـتـضى ا لــفــو ر

Asal dari perintah tidak menunjukan segera.

ا لأ مــر بــا لــشــيـئ أ مــر بــو ســا ئــلــه حـكــم ا لــمــقــا صــد

Perintah kepada sesuatu menjadi perintah pada perantaranya. Dan perantara itu hukumnya sama dengan yang dimakasud

مـا لأ يــتــم ا لــو ا جــب ا لا بـه فــهــو و ا جــب

Tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun hukumnya menjadi wajib.

ا لأ مــر بــا لــشــيئ نــهــي عـن ضــدّ ه

Perintah terhadap sesuatu merupakan larangan dari sebaliknya.

ا لأ مــر بــعـد ا لــنـهـى يــفــيــد ا لأ بــا حــة

Perintah yang jatuh setelah adanya larangan hukumnya adalah boleh.



 

Kaidah NAHI ( larangan )


ا لــنـهـي هـو طــلـب ا لــكــفّ عـن فــعــل مـن ا لأ عــلى ا لى ا لأ د نى

Laranga adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang rendah.

Bentuk – Bentuk nahi

Fiil nahi 17 : 32
Fiil mudori 56 : 79
lafal-lafal larangan حـرم – ا حــذ ر – ا تــر ك – خـطـر – نـهـى – د ع – ذ ر
Makna Nahi selain larangan

makruh co hdits larang solat dikandang onta
harapan, doa 2 : 286
petunjuk 5 : 101
menghibur ( I’tinas ) 9: 40
angan-angan 32: 12
biasa ( iltimas ) co jangan main kesana
menjelaskan suatu akibat. Co menganggap mati orang jihad fisabililah 3 : 169
menjelaskan ( tanbih ) co jangan melarang jika engkau mengerjakan
Kaidah kaidah NAHI


ا لأ صــل فـى ا لــنــهـى لـلــتــحــر يــم

Asal pada larangan menunjukan arti haram

ا لــنــهــى عـن ا لــشــيـئ أ مــر بــضــد ه

Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya.

ا لأ صــل فـى ا لــنــهــى يــقــتــضـى ا لــفــســا د مــطــلــقـا

Asal larangan akan mengakibatkan kerusakan secara mutlak

ا لأ صــل فـى ا لــنــهـى يــقــتــضـى ا لــــتـكــر ا ر مـطــــلــقــا

Asal dalam larangan menghendaki adanya pengulangan seanjang masa.


‘AM ( UMUM )


ا لـعـا م هـو ا لـلــفـظ ا لـمـسـتــغـر ق لـجـمـيـع مـا يـصـلـح و ضـع و ا حـد د فـعـة

‘Am adlah lafal yang menujukan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan ( afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tettentu.

Menurut jumhur ulama, ‘am dibangun dari khas. Oleh karena itu khas lebih kuat dari ‘am. Maka ‘am dapat digugurkan ketika ditemukan khas. Sedangka khas tidak dapat digugurkan dengan adanya ‘amm.

Lafal-Lafal Yang menujukan ‘AMM
كــل ّ يشى جــمــيــع
ا ل تــعــر يــف ا لــجــنــس ” ا لــبــيـع يـنــقـل ا لـمــلـكــيّــة لــفـظ ا لـمأأفـر د مـع
lafal jama yang dimakrifatkan dengan alif lamtarif jinsi.
lafal mufrod da jama yg dimakrifatkan dg idofat co و ا مـا بــنـعـمــة ر بـك
isim – isim maushul
isim-isim isyarat
isim –isim istifham
Isim nakiroh yang dinafikan co لا هـجـر ة بــعـد ا لــفــتـح

KAIDAH ‘AM


ا لـعـمـو م لا يـتصـو ر ا لأ حــكت م

Keumuman itu tidak mengambarkan suatu hokum.

ا لـمـفـهـو م لـه عـمـو م

Makna yang tersirat itu mempunyai bentuk umum.

ا لـمـخـا طـب يـد خـل فى عـمـو م خـطـا ب

Orang yang memerintahkan sesuatu masuk ke dalam pemerintah tersebut.

ا لـعـبـر ة بـعـمـو م ا لـلـفـــظ لا بــخـصـو ص ا لــسـبــب

Suatu ungkapan itu berdasarkan keumuman lafal, bukan kekhususan sebab.

ا لــعـمـل بـا لــعــا م قـبـل ا لـبـحـث عـن ا لـمـخــصّــص لا يـجـو ز

Mengamalkan lafal yang bersifat umum sebelum ada pengkhususan tidaklah diperbolehkan.

عــمـو م ا لــعـا م ســمــو لــيّ و عـمـو م ا لــمــطــلــق بــد لــي ّ

Keumuman itu bersaft menyeluruh, sedangkan keumuman mutlak itu bersifat mengganti atau mewakili.




KHAS ( KHUSUS )


ا لـلــفـظ ا لـذ ى يـد لّ عـلى مـعـنى و ا حــد

lafal yang menunjukan makna tertentu.

ADA 2 JENIS TAKHSHIS

Takhshih muttasil ( bersambung )
syarat co 2 : 228
Sifat 4 : 92
Goyah ( maksud, tujuan ) co. 5:6
badal ba’du min kulli co : haji bagi yang mampu
hal ( keadaan ) co larangan saat ketika mabuk 4 : 43
Dzorof makan dan zaman. Co masa zakat fitrah jadi sodakoh setelah sholat id.
takhsih munfasil ( terpissah )
mentahsis qur’an dengan qur’an 2: 228 dengan 65 : 4
mentakhsis qur’an dengan sunah co. warisan 4 : 11 dengan kafir dan pembunuh
mentakhsis sunah dengan qur’an contoh hadits wudu dengan tayamum 4:43
sunah ditskhsis dengan suanh. Co zakat tani 10 % dengan tidak wajib sebelum lima wasak
qur’an atau hadits ditakhsis dengan qiyas co. hukum dera bgi pejina 100 kali 24 : 2 dengan qiyas hamba sahaya 50 kali.
qur’an ditakhsis dengan akal co. wajib haji 3 : 97 anak kcil dan org gila tidak wajib.
hadits ditakhsis dengan mafhum ( maknba tersirat ) co zakat satu kambing dari 40. hanya kambing diluar kandang mencari makan sendiri , tapi yang dikandang /dipelihara tidak wajib ( HR Bukhari )
penghususna dengan problem nyata karena darurat hukum nya boleh. Co abdurahman bin auf dan zubair boleh pakai sutera karena penyakit ggatal.
Mutlaq dan Muqoyyad

Adalah lafal yang menujukan sesuatu yang tidak terbatas.

ا لــمــطــلــق هــو ا للــفــظ ا اــخــا ص لـم يــقــيـّــد بــقــيــد لــفــظــيّ يــقــلّــل شــيــو عــه

Mutlaq adalah suatu lafadz tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafadz yang mengurangi keumumannya.

ا لـــمــقــيّــد هـو ا للــفــظ ا لــخــا ص قــيّــد لــفــظــيّ يــقــلّــل شــيــو عــه

Muqayyad adalah lafadz tetentu yang dibataasi oleh batasan lafadz lain yang mengurangi keumumannya.

ا لـمـطـلـق عـلى ا طــلـقــه مـا لـم يــقـم د لــيـل عـلى تــقــيــد ه

Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya.

ا لــمـقــيـد بـا ق عـلى تــقــيــيـد ه مـا لـم يــقـم د لـيــل عــلى ا طــلا قــه

Lafal muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.

ا لــمــطــلـق لا يــبـقـى عـلى ا طــلا قــه ا ذ ا يـقـو م د لـــيـل عــلى تــقــيـيـد ه

Lafal mutlak tidak boleh dinyatakan mutlak jika telah ada yang membatasinya.

ا لــمـقــيـد لا يـبـقـى عـلى تـقـيـيـد ه ا ذ ا يـقـو م د لـــيـل عـلى ا طـــلا قــه

Muqayyad tidak aka tetap dikatakan muqayyad jika ada dalil lain yang menunjukan kemutlakannya.

ا لــمـطــلـق يـحـمـل عـلى ا لـمـقـيـّتد ا ذ ا ا تّــفــقـا فى ا لــســبـب و ا لــحـكــم

Mutlak dibawa ke mukoyyad jika sebab dan hukumny sama.

ا لـمــطــلـق يـحــمــل عــلى ا لــمــقــيـد ا ن ا خــتــلـفـا فى ا لــســبـب

Mutlak itu dibawa ke mukoyyad jika sebabnya berbeda

ا لـمــطــلــق لا يــحــمـل عـلى ا لــمــقــيــد ا ذ ا ا خــتــلـف فى ا لــحــكـم

Mutlak itu tidak dibawa ke mukoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya

ا لــمــطــلـق لا يــحــمـل عـلى ا لــمــقــيــد ا ذ ا ا خـــتــلـفـا فى ا لــســبــب و ا لــحــكــم

Mutlak itu tidak dibawa ke mukoyyad jika sebab dan hukumnya berbeda

MANTUQ ( YANG TERSURAT ) DAN MAFHUM (YANG TERSIRAT )

Mantuq adalah lafal yang kandungan hukumnya tersurat di dalam apa yang diucakan.

Mafhum adalah lafal yang kandungan hukumnya ada dibalik arti mantuq

مــا د لّ عــلــيــه ا لـلــفــظ فى مــحــلّ ا لــنّــطــق

Manthuq adalah sesuatu yang ditunjukan oleh lafadz sesuai dengan yang diucapkan

مــا د لّ عــلــيــه ا لـلــفــظ لا فى مــحــلّ ا لــنّــطــق

Mafhum adalah sesuatu yang ditunjukan oleh lafadz, bukan arti harfiyyah yang diucapkan

Mafhum terbagi 2 :

mafhum muwafaqoh yaitu menetapkan hukum dari maknanya yang sejalan atau sepadan dengan makna yang tersurat.
Co. khomar itu haram maka semua yang memabukan hukumnya haram.

Mafhum Muwafaqoh terbagi 2 :

fahwal khitab
yaitu apabila yang tersirat lebih utama dari yang tersurat.

Co 17 : 23. ah saja dilarang, apalagi memukul. 17 : 32 jangan mendekati zina. Mafhum muwafaqoh fahwal khitab nya adalah mendekati zina saja diharamkan, apalagi melakukannya.

Lahnul Khitab,
yaitu apabila yang tidak diucapkan (tersirat) sama hukumnya dengan yang diucapkan (tersurat).

Co. memakan harta anak yatim 4 : 9. mafhum muwafaqoh lanhul khitab nya contoh dengan membakar, atau merusaknya.

mafhum mukhalafah adalah menetapkan hukum kebalikan dari hukum mantuqnya
Mafhum mukhalafah terbagi:

mafhum dengan sifat
co. hadits zakat kambing, maka mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang dikandangin, diberi makan tidak wajib zakat.

mafhum dengan goyah
co. 2 : 187 mafhum mukhalafahnya apabila fajar datang, maka hentikan makan dan minum, atinya puasa dimuali.

mafhum dengan syarat
co. 65: 6, mafhum mukhalafahnya dalah jika istri yang ditalak tidak hamil, maka mantan suami tidak harus memberi nafkah.

mafhum dengan bilangan
co. 24 : 4, mafhum mukhalafahnya tidak boleh mendera <> 80.

مــفــهـو م ا لــمــو ا فــقــة حــجــة

Mafhum muawafakoh ( makna tersirat yang sesuai ) dapat dijadikan hukum.



MUJMAL DAN MUBAYYAN

Mujmal adalah lafal yang mencakup kemungkinan segala keadaan dan hukum yang terkandung di dalam lafal tersebut. Ia bersifat global dan menyeluruh sehinga membingungkan dan tidak dapat diketahui secara jelas maksudnya tanpa danya mubayyan ( penjelas )

Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan, “ lafal yang pengertiannya tidak dapat dipahami dari lafal itu sendirin apabila tidak ada qarinah yang menjelaskannya.

ا لــمــجــمــل هــو ا للــفــظ ا لــذ ي لا يــد لّ بــصــيــيــغـتــه عــلى ا لــمــر ا د

Mujmal adalah lafadz yang sighotnya tidak menunjukan apa yang dimaksud ( tidak jelas )

ا لــمــبــيــّـن هــو ا للــفــظ ا لــذ ي يــد لّ بــصــيــيــغـتــه عــلى ا لــمــر ا د

Mubayyan adalah lafadz yang sigotnya jelas menunjukan apa yang dimaksud.

تــأ خــيــر ا لـبـــيــا ن عــن و قـــت ا لــحــا جـة لا يــجــو ز

Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan.

تــأ خــيــر ا لـبـــيــا ن عــن و قـــت ا لـــخــطــا ب يــجــو ز

Mengkahirkan penjelasan pada saat diperintahkan hukumnya boleh.



MURADIF ( SINONIM ) DAN MUSYTARAK ( HOMONIM )


ا لـلــفـظ ا لــمــتـعــد د لــمـعــنى و ا حــد ا

murodif adalah dua kata atau lebih, satu arti

ا لـلـــفـظ ا لــذ ى يــد ل عــلى مـعــنـيـن ا و ا كــثـر

musytarak adalah satu kata mempunyai dua arti atau lebih

أ يــقــا ع كل مــن ا لــمــر ا د فــيــن مــكا ن ا لا خــر يــجــو ز ا ذ ا لــم يــقـم عــلــيــه طــا لــع شــر عــيّ

Mendudukan dua muradif pada tempat yang lain ( mempertukarkannya ) itu diperbolehkan jika tidak ada ketetapannya.

أ ســتــعــمــا ل ا لــمــشــتــر ك فى مــعــنـيــه ا و مــعــا نــيــه يــجــو ز

Penggunaan Musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.

ZAHIR DAN MUAWWAL / TAKWIL

Zahir adalah lafal yang menunjukan arti secara langsung dari nas itu sendiri, tanpa memerlukan qarinah ( penyerta ) lain yang dating dari luar untuk memahami maksudnmya. Oleh karenanya lafal zahir tidak memungkinkan adanya takhshis, takwil, dan naskh.

Takwil adalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memingkinkan berdasarkan dalil / bukti.

ا لــفــر و ع يــد خــلــه ا لــتــأ و يــل ا تــفــا قــا

Masalah cabang dapat dimasuki takwil berdasarkan consensus.

ا لأ صــو ل لا يــد خــلـه ا لــتــأ و يــل

Masalah ushuludin ( aqidah ) tidak dapat menerima takwil.


NASAKH DALAM NAS


ر فــع ا لــشــا ر ع حــكــمــا شــر عــيّــا بــد لــيــل مــتــر ا خ

Naskh adalah membatalkan pelaksanaan hukum dengan hukum yang datang kemudian.

ا بــظــا ل ا لــعــمــل بــا لــحــكــم ا لــشــر عــىّ بــد لــيــل مــتــر ا خ عــنــه

Naskh adalah membatalkan pengamalan sesuatu hukum syuara’ dengan dalil yang datang kemudian.

ا لــقــطــعــى لا يــنــســخــه ا لــظــنّ

Dalil qath’I tidak dapat dihapus dengan dalil zanni.

مـا لا ت ا لأ فــعــا ل مـقـصـو د ة و مـعـتـبـر ة

Ukuran sesuatu perbuatan tergantung kepada tujuan

مـا لا يــتـمّ ا لـو ا جـب ا لا بـه فـهـو و ا جــب

Sesuatu yang menjadikan kewajiban sempurna karenanya adalah wajib

د ر أ ا لـمـفــا ســد مــقـــد م عــلى جــلـب ا لــمــصــا لــح

Mencegah kerusakan lebih diutamakan dari mencari kebaikan

ا لــر خــص لا تــنــا ط بــا لـمــعــا صــى

Kemudahan tidak dikaitkan dengan maksiat

ا اــعــبــر ة فى ا لـعـقــو د بــا لـمـقــا صــد و ا لــمــعــا نـى لا بـا لا لــــفـــا ظ و ا لــمــبــنى

Perkara yang dianggap dalam akad-akad adalah berdasarkan kepada maksud dan iniat, bukan dengan lafadz dan perkataan.

مــا حــر م أ خــذ ه حــر م أ عــطــا ؤ ه

Sesuatu yang diharamkan mengambilnya, diharamkan memberinya

مــا حــر م أ ســـتــعــمــا لـه حــر م أ تــخــا ذ ه

Perkara yang haram menggunkannya, haram mengambilnya

مـن ا ســتــعــجـل شــيــئـا قــبــل أ و ا نــه عــو قــب بــحــر مــا نــه

Barang siapa yang bertindak cepat terhadap sesuatu sebelum waktunya, maka dibalas dengan sebaliknya.

ا ذ ا ا جــتــمــع ا لــحــلا ل و ا لــحــر ا م غــلــب ا لــحــر ا م

Apabila berkumpul halal dengan haram, maka yang dimenangkan adalah yang haram

ا لــضــر ر يــز ا ل شــر عــا

Bahaya harus dilenyapkan menurut syara

Co. memelihara diri dari merokok

ا لــضــر ر لا يــزا ل بــا لــضــرر

Bahaya itu tidak boleh dilenyapkan dengan bahaya.

Co. Memakan manusia karena lapar

يــحــتـمــل ا لــضــرر ا لــخــا ص لــد فــع ا لــضــر ر ا لـــعــا م

Ditangguhkan bahaya khusus demi menolak bahaya umum.

Co. Pembunuh harus dibunuh mengamankan jiwa-jiwa yang lain.

Tangan pencuri dipotong demi menyelamatkan harta manusia.

يــر تــكــب أ خــفّ ا لــضــرر يــن لا تّــــــقــا ء أ شــدّ هـــمــا

Yang lebih ringan dinatara dua bahaya bias dilakukan demi menjaga yang lebih membahayakan.

Co. seorang suami boleh di tahan ( bui) apabila menengguhkan memberi nafkah istrinya.

Seorang istri boleh ditalak karena bahaya, dan suami tidak memberi nafkah kepadanya

Meninggalkan syarat sholat lebih ringan dari pada meninggalkan shalat.

ر فـــع ا لــضــرر مــقــدّ م عــلى جــلــب ا لــمــنــا فــع

Menolak bahaya didahulukan dari pada menarik keuntungan

Co. Seorang pemilik dilarang mengelola harta miliknya apabila membahayakan orang lain.

Orang puasa, makruh berkumur dan menghisap air kedalam hidung secara berlebihan

ا لــضــرو رت تــبــيــح ا لــمــحــظــو ر ا ت

Keterpaksaan dapat diperkenankan melakukan hal-hal yang dilarang.

Co. Orang yang sangat lapar terpaksa harus memakan bangkai , kalau tidak membahayakn orang lain.Orang yang enggan membayar hutang bias diambil hartanya tanpa ijin dia.

ا لــضــرور ا ت تــقــدّ ر بــقــد ر هــا

Keterpaksaan itu diukur menurut tingkat keadaannya.

Co. Orang yang dalam kedaan terpaksa tidak boleh memanpaatkan sesuatru yang haram kecuali sekedar dapat menahan lidah.

Hukum rukhsoh menjadi gugur karena telah hilang sebabnya.

ا لــمــشــقــة تـــجــلــب ا لــتــيــســيــر

Kesulitan menuntut adanya kemudahan.

Co. Semua rukhsoh dari Allah untuk membuat seorang dan meringankan beban mukalaf dengan adanya sebab 7

1. Bepergian 2. Sakit 3. Paksaan 4. Lupa 5. Tidak tahu 6. umumul bala ( ganguan umum ) 7. Kekurangan

ا لـــحــر ج شــر عــا مــر فــو عــا

Kesempitan menurut syara bisa ditiadakan dan diterima.

Co, Saksi wanita dalam hal tidak bisa dilakukan laki-laki cacat dan buta.

ا لــحــا جــة تــنــز ل مــنــز لــة ا لــضــر و را ت فــى ا بــا حــة ا لـــمــحــظــو ر ا تـــ

Kebutuhan itu bias menduduki tingkatan keterpaksaan dalam kebolehan memeroleh sesuatu yang haram



KAIDAH ISTISHAB


مـا يـثـبـت بـا لـيــقــيـن لا يـزو ل بــا لـشــّــكّ

Apa yang ditetapkan oleh sesuatu yang meyakinkan, maka tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan.

ا لأ صــل بـــقـا ء مـا كا ن عـلى مـا كا ن حــتىّ يــثـبـت مـا يــغـيــره

Asal sesuatu adalah ketepan yang telah ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya.

ا لأ صــل فى الأ شـــيـاء ا لأ بــا حـة

Hukum asal segala sesuatu adalah boleh

ا لأ صــل فى الأ شـــيـاء ا لأ بــا حـة حــتى يــد ل ا لــد لــيـل عـلى تــحــر يــمــهــا

Hukum sesuatu pada asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang mengharamkannya.

ا لأ صــل فى ا لأ نــســا ن ا لــبــرا ء ة

Asal pada manusia adalah bebas

بها الصلاح والفساد للعمل النية شرط لسائر العمل

An niyatu sartun lisairil ‘amal biha sholaku wal fasadu lil’amal

Niat itu adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah dengan niat akan diketahui baik & buruknya amalan.

في جلبِها والدرء للقبائح الدِّينُ مبني على المصالح

Ad dinu mabniyun ‘ala masholihi fi jalbiha wa dar ii lilqobaiihi

Agama ini bangun untuk kebaikan dan maslahat dalam penetapan syariatnya dan untuk menolak kerusakan.

يُقدَّم الأعلى من المصالحِ فإذا تزاحم عدد المصالحِ

Jika dalam suatu masalah bertabrakan antara manfaat satu dengan yang lainnya maka di dahulukan & diambil manfaat yang paling besar / tinggi

وضدُّه تزاحمُ المفاسدِ فارْتَكِب الأدنى من المفاس

wadhidduhu tazakumul mafasiddi fartakabu adna minal mafasidi

Adapun lawannya jika bertabrakan antara mudharat satu dengan yang lainya maka diambil mudharat yang paling kecil dan ringan

ومن قواعد الشريعة التيسير في كل أمر نابه تعسير 

wamin qowai’idis sari’atit taisiru fi kulli amrin naabahu ta’sir

Dan termasuk qaidah syari’ah adalah mudah dalam setiap perkara sebagai ganti dari kesulitan ( kesusahan )

وليس واجب بلا اقتدار ولا مُحَرَّم مع اضطرار

Walaisa wajibun bilaa iqtidarin walaa muharomun ma’aadh dhoror.

Tidak menjadi kewajiban jika tidak mampu mengerjakan dan tidak ada keharaman dalam keadaan darurat ( bahaya )

وكل محظور مع الضرورة بقدر ما تحتاجه الضرورة

Wa kullu mahthurin ma’ad dhorurohi bi qodri maa tahtaajuhu ad dhorurotu

Setiap hal yang dilarang itu di bolehkan jika dalam kondisi yang darurat, tetapi sesui dengan kadar yang dibolehkan saja untuk menghilangkan darurat itu.

وترجع الأحكام لليقين فلا يزيل الشكُ لليقين

Wa turja’ul ahkamu lillyaqini falaa yuziilus sakku lillyaqini

Dan dikembalikan hukum itu kepada yang diyakini dan keraguan tidaklah membatalkan keyakinan itu.

والأصل في مياهنا الطهارة والأرض والسماء والحجارة

wal aslu fi miyahinaa at thohaarotu wal ardhu was sama’u wal hijaarotu

Hukum asal air tanah, langit dan batu adalah suci.

الأصل في الأبضاع واللحوم والنفس والأموال التحريم

al aslu fil abdho’i wal luhuumi wan nafsi wal amwaali at tahrim

Hukum asal dalam hal perkawinan ( kemaluan ), daging hewan dan jiwa/nyawa dan harta adalah haram.

والأصل في عاداتنا الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة

Wal aslu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah

Dan hukum asal dalam kebiasaan ( adat istiadat ) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal.

الأصل في العبادات التحريم

Al aslu fil ibaadati at tahrim

Hukum asal ibadah adalah haram.

الوسائل تعطى أحكام المقاصد

al wasailu tu’thii ahkamul maqosid

Semua sarana suatu perbuatan hukumnya sama dengan tujuannya ( perbuatan tersebut ).

الإقر ار حجة قاصرة

Al ‘Iqrooru Hujjatun Qoo Shiroh

Pengakuan adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas

Semoga secuil tulisan ini bermanfaat untuk para pembaca. Amin

Sumber :

1. Drs. Safiudin Shidiq M. Ag. Fikih.Menggali Hukum Islam. Pustaka madani.

2. Abdul Wahah Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh. Gema Risalah Press. Bandung

3. Drs. HM. Suparta, MA, Fiqih Mdrasal Aliyah. Karya Toha Putra. Bandung

4. www. Gengprass.blogspot.com