Tampilkan postingan dengan label Masalah Puasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masalah Puasa. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Juli 2011

Mengeluarkan MAdzi

Pertanyaan :

Pada bulan ramadhan yang lalu saya jalan-jalan dengan pacar, sambil menunggu waktu berbuka puasa kami jalan-jalan dan saling bergandengan tangan, saya merasakan keluar sedikit cairan dari alat kemaluan saya, apakah itu termasuk mazi atau mani ? apakah puasa saya batal ?

Jawaban :

Pertama-tama anda harus bedakan dengan pasti apakah yang keluar itu mani atau madzi. Untuk membedakannya mudah saja, bahwa cairan bening tidak kental dan lengket yang keluar ketika sedang bercumbu dengan istri/suami atau ketika membayangkan hal tersebut dalam khazanah Fiqh Islam disebut Madzi. Cairan ini adalah Najis karena Rasulullah SAW memerintahkan agar mencuci kemaluan dari cairan tersebut dan berwudhu. Dari Ali bin Abi Thalib RA, ia berkata: “Aku adalah orang yang banyak mengeluarkan madzi akan tetapi aku malu untuk bertanya kepada Rasulullah SAW berkaitan hal tersebut karena alasana putri beliau (Fatimah). Maka aku memerintahkan Miqdad bin Al-Aswad untuk menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW, beliau pun bersabda: “Hendaklah ia membersihkan kemaluannya dan berwudhu” (HR. Bukhori dan Muslim)/

Imam As-Syairoji meyebutkan karena cairan tersebut (madzi) keluar dari tempat keluarnya hadats maka hukmnya seperti air kencing. (Fatawa Al-Hindiyah 1/46) Jumhurul ulama menyatakan jika cairan madzi tersebut keluar ketika seseorang sedang melaksanakan ibadah shaum maka ibadah shaumnya tidak bathal, karena tidak ada nash yang menyatakan hal tersebut dan juga tidak ada Ijma (konsensus ulama). Dan juga tidak mungkin diqiaskan (dianalogikan) kepada jima. (Al-Mughny Ibnu Qudamah 3/49) Puasa anda tidak batal namun jangan bicara nilai dan pahala, karena apa yang anda lakukan itu sangat bertentangan sekali dengan hikmah yang tujuan puasa yang intinya mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu yang halal saja harus dikekang apalagi hawa nafsu yang haram, tentu lebih tidak boleh lagi untuk dikerjakan.

Wanita hamil dan menyusui

Tanya:

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Saya ingin menanyakan tentang aturan puasa bagi wanita yang sedang hamil dan menyusui. Apakah wanita hamil boleh (baca: cukup) membayar fidyah saja (untuk mengganti puasanya) atau harus meng-qodlo puasanya di lain waktu. Sementara pada tahun berikutnya dia harus menyusui anaknya yang baru lahir. Jadi, ia belum sempat membayar hutang puasanya karena harus menyusui anaknya. Apakah ia diperbolehkan mengganti puasanya hanya dengan membayar fidyah atau harus tetap meng-qodlo puasanya?

Demikian pertanyaan saya, terima kasih atas jawaban yang diberikan.



Jawab:

Wa Alaikum Salam Wr. Wb.,


Wanita yang sedang hamil dan/atau menyusui diperbolehkan tidak berpuasa jika dikhawatirkan akan mengakibatkan terganggunya kesehatan, baik itu akan berpengaruh pada anak yang dikandung maupun pada wanita yang sedang mengandung. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dengan hasil konsultasi dari pakar medis yang menangani kehamilan tersebut. Jika memang --menurut perspektif medis-- berpuasa tidak berbahaya bagi kesehatan wanita tersebut, maka sebaiknya tetap berpuasa. Akan tetapi jika puasa dikhawatirkan membawa dampak yang membahayakan kehamilan maupun ibu yang mengandung, maka diperbolehkan tidak berpuasa.

Mengenai fidyah dan qodlo puasa, berikut pendapat beberapa ulama terkait wanita hamil atau menyusui:

  1. Jika ia khawatir puasa dapat membahayakan kesehatannya atau kesehatan anaknya, maka boleh tidak berpuasa dan wajib meng-qadla di luar Ramadlan tanpa membayar fidyah.
  2. Jika ia khawatir puasa dapat membahayakan kesehatan anaknya saja dan tidak membahayakan dengan kesehatannya sendiri, maka boleh tidak berpuasa dan wajib meng-qadla. Selain itu, sebaiknya juga membayar fidyah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i. Sementara Imam Hanafi berpendapat harus qadla dan tidak diperbolehkan membayar fidyah saja.
  3. Dalil yang memperbolehkan tidak puasa bagi wanita hamil atau menyusui diqiyaskan dengan orang yang sedang sakit dan musafir (orang yang dalam perjalanan). Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwasanya Allah memperbolehkan kepada musafir untuk tidak berpuasa, qashar dan jamak sholat. Begitu juga bagi orang yang sedang hamil dan menyusui, diperbolehkan tidak berpuasa (H.R. Ahmad dan Ashab al-Sunan dari Anas bin Malik). Justru sebaiknya wanita hamil atau menyusui tidak berpuasa apabila puasa tersebut mengakibatkan terganggunya kesehatan ibu yang sedang hamil dan janin yang dikandungnya.
  4. Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Said bin Jubair (Sahabat) menyatakan diperbolehkannya membayar fidyah saja tanpa harus meng-qadla. Karena qadla itu sendiri dibatasi sampai sebelum datangnya Ramadlan berikutnya. Jika sampai tahun berikutnya tetap tidak bisa meng-qadla puasa karena menyusui, maka boleh (baca: cukup) membayar fidyah saja. Adapun ketentuan fidyah dapat anda lihat dalam arsip jawaban kami dengan mengunjungi http://www.pesantrenvirtual.com/tanya/063.shtml

Wallahu A'lam.