Senin, 28 Mei 2012

Berfikir Kritis dalam Potret Fiqh Era Salaf dan Modern

Dalam khazanah keilmuan Islam, diskusi tentang fiqh memang never ending theme yang mana kehadirannya selalu menjadi kajian hangat yang kerap memunculkan variation of opinion (اختلاف). 

Kemudian, akibat ikhtilaf ini timbullah negative image dari sebagian masyarakat terhadap Fuqoha’ karena diklaim tidak akur. Padahal, adanya variation of opinion sangat lumrah sekali karena masing-masing memiliki methode analisis dan pola pikir (human worldview) yang berbeda. 

Faktor yang mempengaruhi perbedaan worldview tersebut antara lain; ilmu pengetahuan, sejarah, situasi dan kondisi sosial, tradisi, hukum adat, akhlaq, dan politik.[1]
 
Disamping itu, kehadiran ikhtilaf ini hakikatnya telah menggambarkan sikap toleransi serta kelenturan Syariat agar layak dikonsumsi oleh masyarakat dan laku di pasaran, sebagaimana tanggapan al-Khatoby terhadap dawuh Nabi “رَحْمَة أُمَّتِي اِخْتِلَاف ” dikala periode ilmu fiqh belum lahir.[2]
 
Pada awal abad 2 H, saat fiqh mulai terlantik menjadi bagian disiplin ilmu agama, kemampuan daya berfikir “kritis” (ijtihad) dalam memahami dan menginterpretasikan teks nash al-Qur’an dan al-Sunnah sangat dipertaruhkan untuk menyelesaikan isu-isu kontemporer pasca wafatnya Nabi sebagai tempat curhat. Sikap kritis inilah yang kemudian membuat Islam menjadi idola dan mencapai masa keemasannya di abad 4 H, sebab kehadiranya menjadi bukti terhadap kelenturan Syariat, sehigga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan situasi, kondisi dan tidak terkesan monoton mengikuti era Nabi saja. 

Inilah bentuk fiqh era salaf yang diharapkan mampu di tiru oleh fiqh era modern saat ini. Senada dengan al-Suyuthi, al-Baghlawi saat mengomentari surat al-Taubah ayat 122,[3] berkata bahwa berfikir kritis (dalam konteks ijtihad) adalah sebuah keharusan (fardlu kifayah), karena ia merupakan potret dari tafaqquh fiddin. Dan hebatnya, meskipun menuai hasil keliru, berfikir “kritis” ini akan tetap mendapat satu penghargaan dari Alloh.

Sebenarnya perlu di akui bahwa tingkat kemampuan mujtahid modern tidaklah selevel dengan mujtahid salaf. Namun hal ini tidak akan menghapus status keharusan berfikir kritis sampai kapan pun (minal mahdi ila lahdi). 

Kemudian, untuk mengantisipasi kefatalan hasil fiqh modern, maka generasi mujtahid perlu tetap berpijak pada nash dan fiqh salaf agar dapat terarah dan tidak ngawur. Support dari Ulama’ untuk tetap kritis ini dimaksudkan agar antusias intelektual islam terus berkembang dan tidak beku, sekedar takluk dan puas terhadap konsep warisan era salaf di tengah-tengah arus zaman yang sangat kompleks ini. 

Bila dilihat dari kacamata filsafat, teori “konstruksi pemikiran” Charles S. Peirce pakar filosof dan sains (1839-1914 M) tampaknya cocok untuk memadukan fiqh era salaf dengan modern, teori Peirce tersebut adalah belief, habit of mind, doubt, inquiry dan meaning

1.      Belief (kepercayaan)
Otoritas nash harus diyaqini sebagai pedoman dasar dalam mengembangkan sikap kritis atau kebebasan berfikir;

2.      Habit of Mind (tradisi turun temurun dan menggumpal)
tradisi kehidupan mulai Nabi (al-Sunnah) hingga sahabat juga perlu ditanamkan dibawah otoritas wahyu. 

3.      Doubt (keragu-raguan untuk merangsang otak agar kritis)
baik ragu terhadap kandungan makna nash ataupun fiqh era salaf, apalagi fiqh adalah hasil pemahaman mujtahid terhadap nash yang dzanny yakni belum jelas pemahaman makna dzohirnya.[4]
 
4.      Inquiry (penyelidikan)
fase ini berguna untuk menguji keotentikan nash dan fiqh salaf agar nantinya diharapkan bisa dikembangkan untuk menyelesaikan isu-isu kekinian (sebagai fiqh modern) dan menyegarkan kembali studi keislaman berdasarkan perkembangan peradaban diberbagai aspek kehidupan umat manusia.
Melalui fase Inquiry ini Peirce memberikan pandangan bahwa tidak ada kebenaran final dalam penemuan ilmu pengetahuan, namun harus ada research dan investigation sehingga kebenaran itu harus selalu diuji, dipertanyakan dan diselidiki ulang. 

5.      Meaning (bermakna atau bermanfaat)
orientasi sikap kritis fiqh modern adalah agar menjadi sesuatu yang bermakna bagi ilmu pengetahuan dan umat, tidak sekedar sebuah keputusan yang dibungkus oleh misi poitik, nafsu ataupun lainnya. 

Walhasil, pembangunan studi agama belumlah berakhir. Munculnya fiqh era salaf adalah satu bukti respon ulama terhadap perkembangan hukum setelah era Nabi. Sehingga saat ini pun diharapkan terbit fiqh era modern dengan tetap berpijak pada dalil nash dan fiqh salaf untuk mempertahankan keduanya dan terus melestarikan al-Ulum al-Syar’iyah.


[1] Auda Jasser Auda, Maqashid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, (London: The Internaional institute of Islamic Thought, 2008), h.194. lihat juga Syahrour, Nahwa Ushul Jadidah, h.202
[2] Abu zakaria Al-Nawawi, Syarh al-NAwawi ‘ala Shohih Muslim, (Beirut, dalam al-Maktabah al-Syamilah), jld. 6, h. 27
[3] “tidak sepatutnya semua orang-orang mukmin pergi (berperang), mengapa tiap kelompok diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam ilmu agama dan memperingatkan masyarakatnya saat kembali agar mereka semua bisa menjaga dirinya”. (Wahbah az-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus: Daar fikr), jld. 2, h. 1085)
[4] Hukum islam hasil nash yang otentik dan memiliki pemahaman sangat jelas disebut Syari’at. (Lihat Fakhr al-islam, Kasyf al-asror (maktabah syamilah), jld. 1, h. 226, baca juga Almausu’ah al-fiqhiyyah, jld. 2, h. 7277)

1 komentar: