Dalam khazanah keilmuan Islam, diskusi tentang fiqh memang never ending
theme yang mana kehadirannya selalu menjadi kajian hangat yang kerap
memunculkan variation of opinion (اختلاف).
Kemudian, akibat ikhtilaf ini timbullah negative image dari sebagian
masyarakat terhadap Fuqoha’ karena diklaim tidak akur. Padahal, adanya
variation of opinion sangat lumrah sekali karena masing-masing memiliki methode
analisis dan pola pikir (human worldview) yang berbeda.
Faktor yang mempengaruhi perbedaan worldview tersebut antara lain; ilmu
pengetahuan, sejarah, situasi dan kondisi sosial, tradisi, hukum adat, akhlaq,
dan politik.[1]
Disamping itu, kehadiran ikhtilaf ini hakikatnya telah menggambarkan
sikap toleransi serta kelenturan Syariat agar layak dikonsumsi oleh masyarakat
dan laku di pasaran, sebagaimana tanggapan al-Khatoby terhadap dawuh Nabi “رَحْمَة أُمَّتِي اِخْتِلَاف ” dikala
periode ilmu fiqh belum lahir.[2]
Pada awal abad 2 H, saat fiqh mulai terlantik menjadi bagian disiplin
ilmu agama, kemampuan daya berfikir “kritis” (ijtihad) dalam memahami dan
menginterpretasikan teks nash al-Qur’an dan al-Sunnah sangat dipertaruhkan
untuk menyelesaikan isu-isu kontemporer pasca wafatnya Nabi sebagai tempat
curhat. Sikap kritis inilah yang kemudian membuat Islam menjadi idola dan
mencapai masa keemasannya di abad 4 H, sebab kehadiranya menjadi bukti terhadap
kelenturan Syariat, sehigga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan situasi,
kondisi dan tidak terkesan monoton mengikuti era Nabi saja.
Inilah bentuk fiqh era salaf yang diharapkan mampu di tiru oleh fiqh era
modern saat ini. Senada dengan al-Suyuthi, al-Baghlawi saat mengomentari surat
al-Taubah ayat 122,[3]
berkata bahwa berfikir kritis (dalam konteks ijtihad) adalah sebuah keharusan
(fardlu kifayah), karena ia merupakan potret dari tafaqquh fiddin. Dan
hebatnya, meskipun menuai hasil keliru, berfikir “kritis” ini akan tetap mendapat
satu penghargaan dari Alloh.
Sebenarnya perlu di akui bahwa tingkat kemampuan mujtahid modern tidaklah
selevel dengan mujtahid salaf. Namun hal ini tidak akan menghapus status
keharusan berfikir kritis sampai kapan pun (minal mahdi ila lahdi).
Kemudian, untuk mengantisipasi kefatalan hasil fiqh modern, maka generasi
mujtahid perlu tetap berpijak pada nash dan fiqh salaf agar dapat terarah dan
tidak ngawur. Support dari Ulama’ untuk tetap kritis ini dimaksudkan agar
antusias intelektual islam terus berkembang dan tidak beku, sekedar takluk dan
puas terhadap konsep warisan era salaf di tengah-tengah arus zaman yang sangat
kompleks ini.
Bila dilihat dari kacamata filsafat, teori “konstruksi pemikiran” Charles
S. Peirce pakar filosof dan sains (1839-1914 M) tampaknya cocok untuk memadukan
fiqh era salaf dengan modern, teori Peirce tersebut adalah belief, habit of mind, doubt, inquiry dan meaning.
1.
Belief
(kepercayaan)
Otoritas nash harus diyaqini sebagai pedoman dasar dalam mengembangkan
sikap kritis atau kebebasan berfikir;
2.
Habit
of Mind (tradisi turun temurun dan menggumpal)
tradisi kehidupan mulai Nabi (al-Sunnah) hingga sahabat juga perlu
ditanamkan dibawah otoritas wahyu.
3.
Doubt
(keragu-raguan untuk merangsang otak
agar kritis)
baik ragu terhadap kandungan makna nash ataupun fiqh era salaf, apalagi
fiqh adalah hasil pemahaman mujtahid terhadap nash yang dzanny yakni belum
jelas pemahaman makna dzohirnya.[4]
4.
Inquiry
(penyelidikan)
fase ini berguna untuk menguji keotentikan nash dan fiqh salaf agar
nantinya diharapkan bisa dikembangkan untuk menyelesaikan isu-isu kekinian
(sebagai fiqh modern) dan menyegarkan kembali studi keislaman berdasarkan
perkembangan peradaban diberbagai aspek kehidupan umat manusia.
Melalui fase Inquiry ini Peirce memberikan pandangan bahwa tidak ada
kebenaran final dalam penemuan ilmu pengetahuan, namun harus ada research dan
investigation sehingga kebenaran itu harus selalu diuji, dipertanyakan dan
diselidiki ulang.
5.
Meaning
(bermakna atau bermanfaat)
orientasi sikap kritis fiqh modern adalah agar menjadi sesuatu yang
bermakna bagi ilmu pengetahuan dan umat, tidak sekedar sebuah keputusan yang
dibungkus oleh misi poitik, nafsu ataupun lainnya.
Walhasil, pembangunan studi agama belumlah berakhir. Munculnya fiqh era
salaf adalah satu bukti respon ulama terhadap perkembangan hukum setelah era
Nabi. Sehingga saat ini pun diharapkan terbit fiqh era modern dengan tetap
berpijak pada dalil nash dan fiqh salaf untuk mempertahankan keduanya dan terus
melestarikan al-Ulum al-Syar’iyah.
[1]
Auda Jasser Auda, Maqashid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, (London:
The Internaional institute of Islamic Thought, 2008), h.194. lihat juga
Syahrour, Nahwa Ushul Jadidah, h.202
[2]
Abu zakaria Al-Nawawi, Syarh al-NAwawi ‘ala Shohih Muslim, (Beirut, dalam
al-Maktabah al-Syamilah), jld. 6, h. 27
[3]
“tidak sepatutnya semua orang-orang mukmin pergi (berperang), mengapa tiap
kelompok diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam ilmu agama dan
memperingatkan masyarakatnya saat kembali agar mereka semua bisa menjaga
dirinya”. (Wahbah az-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus: Daar fikr), jld.
2, h. 1085)
[4]
Hukum islam hasil nash yang otentik dan memiliki pemahaman sangat jelas disebut
Syari’at. (Lihat Fakhr al-islam, Kasyf al-asror (maktabah syamilah), jld. 1, h.
226, baca juga Almausu’ah al-fiqhiyyah, jld. 2, h. 7277)
oke, terima kasih atas artikelnya..!
BalasHapus