DHARURIYYATUL-KHAMS
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari
Apa yang dimaksud dengan dharûriyyâtul-khams? Makna dharûriyyâtul-khams,
yaitu menyangkut lima kebutuhan penting yang semestinya dijaga oleh kaum
Muslimin. Dan dalam masalah ini, Al-Qur‘an dan as-Sunnah telah memberikan
perhatian yang besar. Berikut ini ulasan berkaitan dengan pembahasan judul di
atas. Kami angkat berdasarkan ceramah Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari
pada Daurah Syar’iyyah I yang diselenggarakan oleh Yayasan Imam Bukhari,
Jakarta, di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, pada pertengahan bulan Februari 2007,
dan mengacu dengan kitab Maqâshidusy- Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, karya Dr.
Yûsuf bin Muhammad Al-Badawi yang menjadi pegangan Syaikh dalam daurah tersebut
Dharûriyyâtul-khams yang dimaksudkan, yaitu meliputi penjagaan terhadap
dîn (agama), jiwa, keturunan, akal, dan harta.
1.
MENJAGA
DIN (AGAMA).
Ini merupakan dharûriyyât yang terpenting dan berada pada urutan
tertinggi. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9
ÇÎÏÈ
Artinya : “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
[Adz-Dzâriyat : 56]
Demikian tujuan hakiki dari penciptaan makhluk. Untuk mencapai tujuan
inilah, maka para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan. Sebagaimana
firman-Nya.
Wxß tûïÎÅe³t6B tûïÍÉYãBur xy¥Ï9 tbqä3t Ĩ$¨Z=Ï9 n?tã «!$# 8p¤fãm y÷èt/ È@ß9$# 4
Artinya : “(Mereka
Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
rasul-rasul itu”. [An-Nisâ : 165].
Begitu juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
ôs)s9ur $uZ÷Wyèt/ Îû Èe@à2 7p¨Bé& »wqߧ Âcr& (#rßç6ôã$# ©!$# (#qç7Ï^tGô_$#ur |Nqäó»©Ü9$# (
Artinya : “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiaptiap umat (untuk menyerukan):
“Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”.
[An-Nahl : 36]
Agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga din (agama)
dari kerusakan, karena din merupakan dharuriyat yang paling besar dan
terpenting, maka syari’at juga mengharamkan riddah (murtad), memberi sanksi
kepada orang yang murtad dan dibunuh. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa yang
mengganti agamanya, maka bunuhlah dia” [HR Bukhari]
Juga sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.
Artinya : “Tidak
halal darah seorang muslim (tidak boleh dibunuh, Red.), kecuali dengan salah
satu di antara tiga sebab yaitu jiwa dengan jiwa, orang tua yang berzina (dibunuh
dengan dirajam, Red.), orang yang murtad meninggalkan agamanya dan jama’ahnya”
[HR Bukhari]
Ini
semua untuk menjaga din. Realisasinya dapat dilakukan dengan beberapa cara, di
antaranya dengan :
a. Beriman
kepada Allah Azza wa Jalla, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, mengetahui Asmâ
dan Sifat Allahl.
b. Berpegang
teguh dengan agama, mempelajarinya, lalu mendakwahkannya.
c. Menjauhi
dan memperingatkan dari perbuatan syirik dan riya’.
d. Memerangi
orang-orang yang murtad.
e.
Mengingatkan
dari perbuatan bid’ah dan melawan ahlul bid’ah.
2.
MENJAGA
JIWA (HIFZHUN-NAFSI).
Menjaga jiwa juga termasuk dharûriyatul-khamsi, dan
din tidak akan bisa tegak, jika tidak ada jiwa-jiwa yang menegakkannya. Kalau
kita ingin menegakkan din, artinya, kita harus menjaga jiwa-jiwa yang akan
menegakkan din ini. Untuk menjaga dan memuliakan jiwa-jiwa ini, Allah Azza wa
Jalla berfirman :
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÐÒÈ
Artinya : “Dan
dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa” [Al-Baqarah :179]
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjadikan qishash
sebagai salah satu sebab kelestarian kehidupan, padahal qishash itu merupakan
kematian. Mengapa? Karena, dengan keberadaan hukum qishash, maka para pelaku
kriminal menjadi jera, kehidupan pun menjadi aman. Jadi, qishash merupakan
salah satu sebab terwujudnya kehidupan yang damai, tenang, dan dalam naungan
hidayah.
tûïÏ%©!$#ur w cqããôt yìtB «!$# $·g»s9Î) tyz#uä wur tbqè=çFø)t }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# wÎ) Èd,ysø9$$Î/ wur cqçR÷t 4
Artinya : “(Di
antara sifat hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yaitu) tidak membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar, dan
tidak berzina”. [Al-Furqân : 68]
Yang disebut dengan al-haq (kebenaran), yaitu harus
dengan dalil dan bukti. Jika tidak, berarti melakukan pembunuhan tanpa alasan
yang benar. Dan berdasarkan Al-Qur‘an dan as-Sunnah, melakukan pembunuhan tanpa
alasan yang benar, hukumnya terlarang.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang penjagaan
terhadap jiwa:
Artinya : “Barangsiapa
yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh dirinya (mati), maka dia
akan berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya”.
[HR Imam Bukhari]
Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap seseorang
yang berpendapat “saya bebas melakukan apa saja atas diri saya”. Perkataan
seperti ini merupakan perkataan keliru, karena di dalam Al- Qur`anul-Karim
disebutkan tentang ucapan yang benar, sebagai petunjuk bagi kaum Mukminin jika
tertimpa musibah. Allah Azza wa Jalla berfirman.
tûïÏ%©!$# !#sÎ) Nßg÷Fu;»|¹r& ×pt7ÅÁB (#þqä9$s% $¯RÎ) ¬! !$¯RÎ)ur Ïmøs9Î) tbqãèÅ_ºu ÇÊÎÏÈ
Artinya : “(yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un.” [Al-Baqarah : 156]
Inna lillahi (sesungguhnya kita milik Allah) dengan
demikian, kita ini milik Allah Azza wa Jalla, tidak boleh berbuat
sewenang-wenang atas diri kita, tidak boleh menyengaja melukai tangan sendiri
lalu berkata “ini tangan saya, saya bebas melakukan apa saja terhadapnya”.
Apalagi sampai mengatakan “ini adalah jiwaku, saya ingin membunuh diri atau
menjatuhkan diri dari gunung, atau menenggak racun”, maka semua ini tidak boleh,
karena termasuk berbuat sewenangwenang pada sesuatu yang bukan miliknya.
Wahai Hamba Allah! Jiwa yang pada dirimu itu adalah
milik Pencipta dan Rabbmu, Dzat yang engkau ibadahi, yaitu Allah Azza wa Jalla
. Engkau tidak boleh berbuat sewenang-wenang padanya.
Dalam hadits “barangsiapa yang menjatuhkan dirinya
dari gunung lalu dia membunuh dirinya (mati), maka dia akan berada dalam Neraka
Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya” terdapat pelajaran yang
bisa kita ambil. Bahwa orang tersebut kekal selamanya dalam Neraka Jahannam,
sedangkan di dalam Ahlu Sunnah wal-Jama’ah –di antaranya terdapat kaidah-
Perbuatan dosa-dosa besar termasuk dalam kategori dosa-dosa yang bisa diampuni
Allah k jika Allah berkehendak. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla
Artinya : “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” [An-Nisâ : 48]
Bunuh diri, termasuk dalam bagian pertama ayat ini,
ataukah bagian yang kedua? Apakah bunuh diri termasuk syirik, ataukah berada di
bawah syirik? Jawabnya, bunuh diri termasuk dalam dosa di bawah dosa syirik.
Namun dalam hadits itu dijelaskan, dia kekal selamanya di neraka. Lantas
bagaimana jawabnya?
Para ulama mengatakan, pengertian hadits ini dibawa
kepada orang yang membunuh diri, karena ia menganggapnya halal, atau karena
meremehkan hukum syari’at, bukan karena maksiat semata, baik yang kecil maupun
yang besar. Akan tetapi, ini merupakan pelanggaran terhadap dasar hukum syari’at,
dia menentangnya dan menghalalkannya. Dalam kondisi seperti itu, maka dosa
maksiat ini menjadi dosa kekufuran.
Oleh karena itu, Abu Ja’far ath-Thahawi, di dalam
kitab ‘aqidah beliau yang masyhur, beliau mengatakan: “Kami tidak mengkafirkan
ahlul-qiblah (kaum Muslimin) dengan sebab dosa, selama dia tidak menganggapnya
halal.”
Pelaku perbuatan dosa ini, jika menganggapnya halal,
maka dia menjadi kafir, meskipun perbuatan dosa tersebut lebih kecil atau lebih
sedikit dari bunuh diri.
Secara ringkas, hifzhun-nafs dapat dilakukan dengan beberapa cara, di
antaranya:
a. Pada
saat darurat (sangat terpaksa), wajib memakan apa saja demi menyambung hidup,
meskipun yang ada saat itu sesuatu yang haram pada asalnya.
b. Memenuhi
kebutuhan diri, berupa makanan, minuman dan pakaian.
c.
Mewajibkan
pelaksanaan qishash (hukum bunuh bagi yang membunuh, jika sudah terpenuhi
syarat-syaratnya, Red.) dan mengharamkan menyakiti atau menyiksa diri.
3.
MENJAGA
AKAL (HIFZHUL-AQLI).
Sarana untuk menjaga akal ialah ilmu. Kalimat wahyu pertama
kali yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyentuh
telinga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah kalimat iqra’ (bacalah!),
setelah itu kalimat:
“Artinya : (Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. [Al-Alaq:5]
Karena membaca merupakan jalan mendapatkan ilmu,
meskipun bukan jalan satu-satunya, akan tetapi dia merupakan jalan terpenting.
Dalam nash Al-Qur‘an yang lain, Allah berfirman,
Artinya: “(dan
katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” [Thaha :
114]
Akan tetapi ilmu ini wajib diiringi dengan amal
perbuatan. Ilmu bukan sekedar untuk diketahui, namun dengan ilmu agar bertakwa,
beramal shalih, serta menjauhan diri dari perbuatan maksiat dengan landasan
takwa kepada Allah Azza wa Jalla . Karenanya dalam firman Allah surat Al-Maidah
ayat 91 disebutkan.
Artinya: “Sesungguhnya
setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu,
dan berjudi itu menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
Khamr dan perjudian telah menyebabkan manusia
terhalang dari jalan Allah k dan bisa menghilangkan akal (kesadaran), sedangkan
akal sangat dibutuhkan manusia untuk memahami perintah dan hukum-hukum
syari’ah.
Dalam ayat ini, setelah Allah Azza wa jalla
menjelaskan hukum syar’i dan menjelaskan kewajiban, kemudian seolah-olah Allah
Azza wa Jalla hendak menggugah perhatian manusia. Allah Azza wa Jalla
berfirman, yang artinya: (maka berhentilah kamu [dari mengerjakan pekerjaan
itu]). Mengapa kalian tidak berhenti dari hal-hal yang kalian dilarang darinya,
berupa kebiasaan orang-orang Jahiliyah, yaitu khamr dan perjudian? Sedangkan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:.
“Artinya : Setiap
yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram”.
Meskipun banyak pabrik membuat produk, lalu setan
membuat istilah-istilah untuk produk tersebut, namun kita memiliki kaidah yang
mencakup semua nama, meskipun nama tersebut baru dan dirubahrubah, tetapi,
setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram.
Dan bahwasanya, untuk menjaga kebaikan akal, maka
syari’at mengharamkan semua yang bisa merusaknya, baik yang maknawi (abstrak)
seperti perjudian, nyanyian, memandang sesuatu yang diharamkan, maupun yang
bersifat fisik seperti khamr, narkoba serta memberikan sanksi kepada yang
melakukannya.
4.
MENJAGA
KETURUNAN (HIFZHUN-NASLI)
Di antara dharûriyyâtul-khams yang dipelihara dan
dijaga dalam syari’at, yaitu menjaga keturunan. Allah Azza wa Jalla berfirman :
Artinya : “Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. [Al-Isrâ : 32]
Bentuk penjagaan agar manusia menjauhkan manusia dari
perbuatan zina, maka syari’at memperbolehkan dan menganjurkan pernikahan
poligami, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla menyebutkan.
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
Artinya : “Maka
kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” [An-Nisâ
: 3]
Nabi
Shallallahu ‘alaihiwa sallam juga bersabda :
Artinya : “Wahai
para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka hendaklah
dia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia melakukan
puasa (sunat). Karena sesungguhnya puasa itu menjadi obat bagi dia”.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
Artinya : “Seorang
pezina tidak akan melakukan perbuatan
zina, sedangkan dia dalam keadaan beriman”.
Dalam sebagian riwayat dijelaskan, iman tercerabut
darinya. Jika ia berhenti dari berzina, maka keimanannya kembali kepadanya.
Semua nash-nash ini untuk menjaga keturunan.
Pemeliharaan keturunan ini, bisa dilihat dari beberapa hal berikut:
- Anjuran untuk melakukan
pernikahan.
- Persaksian dalam
pernikahan.
- Kewajiban memelihara dan
memberikan nafkah kepada anak, termasuk kewajiban memperhatikan pendidikan
anak.
- Mengharamkan nikah
dengan pezina.
- Melarang memutuskan
untuk thalaq jika tidak karena terpaksa.
- Mengharamkan
ikhtilâth.
5.
MENJAGA
HARTA (HIFZHUL-MALI).
Bagian terakhir dari dharuriyâtul-khams yang dijaga
oleh syari’at. Yakni sesuatu yang menjadi penopang hidup, kesejahteraan dan
kebahagiaan, yaitu menjaga harta. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
wur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# @yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uÏ% ÇÎÈ
Artinya : “Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”
[An-Nisâ‘ : 5]
Maksudnya, kemapanan keberadaan manusia ialah dengan
harta. Oleh karenanya terdapat perintah mengeluarkan zakat, shadaqah. Dan zakat
merupakan hak Allah k . Sehingga orang yang berhak menerimanya terjaga dan
harta yang mengeluarkannya juga menjadi bersih dan suci.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Artinya : “Allah
Azza wa Jalla melaknat pencuri yang mencuri telur, lalu tangannya dipotong”.
Dalam syari’at Allah yang bijak ini, juga terdapat
larangan melakukan perbuatan tabdzir (pemborosan). Allah l berfirman,
“Artinya: Dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat
ingkar kepada Rabbnya”. [Al-Isrâ : 26-27]
Begitu juga Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang isrâf
(berlebih-lebihan), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.
( wur (#þqèùÎô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) w =Ïtä úüÏùÎô£ßJø9$# ÇÊÍÊÈ
Artinya: “Dan
janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan” [Al-An’am :141]
Di
antara cara dalam pemeliharaan harta ialah:
a. Islam
mewajibkan beramal dan berusaha.
b. Memelihara
harta manusia dalam kekuasaan mereka.
c. Islam
menganjurkan bershadaqah, memperbolehkan jual beli dan hutang-piutang.
d. Islam
mengharamkan perbuatan zhalim terhadap harta orang lain dan wajib menggantinya.
e.
Kewajiban
menjaga harta dan tidak menyia-nyiakannya.
Demikian beberapa nash dari Al-Qur‘an dan as- Sunnah,
yang berkaitan dengan dharûriyyâtul-khams .
Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada
kaum Muslimin lainnya untuk memahaminya, sehingga semakin menambah dan
mengokohkan keyakinan terhadap kebenaran din, agama yang haq ini. Wallahu a’lam
bish-Shawab
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun
XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo –
Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]