Rabu, 20 Juli 2011

ala Aktivis Tarbiyah

Benarkah para aktivis dakwah dari kalangan Tarbiyah tidak suka melakukan pacaran secara islami atau “bercinta sebelum khitbah”? Benarkah bagi mereka, satu-satunya jalan menuju pernikahan adalah taaruf? Benarkah semuanya menentang mati-matian gagasan pacaran islami? Apa dampak dan konsekuensinya, baik bagi pribadi maupun kepentingan dakwah?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam itu dapat kita jumpai secara tersirat dalam sebuah pesan dari seorang aktivis tarbiyah yang menyebut dirinya “radur-man”:
Assalamu’alaikum….
Pak Shodiq, kenalan dulu yah sekalian bagi2 pengalaman. Saya tahu blog ini dari temen saya di suatu masjid kampus, dan sejak itu saya selalu mampir ke sini (kurang lebih semingguan) di sela-sela kerja di kantor (mumpung internet gratis :P ). Saya hampir telah membaca semua postingan Pak Shodiq di sini beserta komen2nya.
Subhanallah, akhirnya ada juga yang berani merumuskan pacaran secara islami. Dan konsep pacaran islami yang bapak usung saya sangat menyetujuinya. Memang sih, judulnya itu (pacaran islami) menyulut api banget bagi aktivis tarbiyah.
Eits, jangan salah, saya juga tarbiyah lho (paling nggak masih aktif liqo). Kebetulan dulu saya kuliah di salah satu Perguruan Tinggi ternama di Indonesia, dan alhamdulillah sudah lulus setahun yang lalu. Selama kuliah saya juga aktif di masjid kampusnya (dan sempat menempati asramanya selama setahun).

Nah, yang ingin saya soroti di sini berdasarkan pengalaman saya adalah ternyata konsep pacaran islami ini sudah buanyak dilakukan oleh para aktivis dakwah. Tapi memang dilakukan sembunyi-sembunyi. Takut di’sidang’ katanya. Trus juga istilahnya bukan pacaran islami, melainkan TTM ato HTS (Hubungan Tanpa Status) ato berkomitmen. Tapi prakteknya sama banget dengan konsep pacaran islami.

Menurut saya pribadi hal seperti itu sangat manusiawi dan toh masing2 tetap menjaga adab2 pergaulan ikhwan-akhwat. Yang saya takutkan justru, karena merasa berdosa yang sangat berlebihan terhadap perasaan dan hubungan tersebut dan karena mendapat sindiran2 miring dari teman2 sesama aktivisnya, mereka akhirnya menarik diri dari aktifitas dakwahnya dan menghilang dari peredaran. Dan inilah yang terjadi. Kalo sudah begitu, siapa yang bisa jamin kalo hubungan antara ikhwan-akhwat yang bersangkutan bisa tetap dalam kaidah2 syari’at. Inilah yang sungguh2 disayangkan.

Ikhwahfillah, sadarilah, hal tersebut terjadi di antara kita. Trus, solusi yang paling baik yang bisa kita lakukan apa? Ujung2nya si pelaku disidang lagi disidang lagi. Kenapa nggak kita rame2 ngumpulin duit buat biaya pernikahannya trus kita ringankan segala kesulitannya menuju jenjang pernikahan. Gitu kan solutif. Akhirnya kita juga nggak merasa diri paling benar dan memandang sebelah mata terhadap para pelaku2 tersebut.

Nah, di sinilah saya melihat ada kekurangan dalam metode pranikah dalam tarbiyah di Indonesia (gak tahu di luar Indonesia mah, lha wong ternyata Abu Syuqqah, sahabat Yusuf Qardhawi sendiri, malah menulis tentang ‘bercinta sebelum menikah’). Mo dilarang2 juga pasti ada aja yang kayak gitu, baik terang2an maupun sembunyi2. Ya… namanya juga perasaan suka sama lawan jenis, siapa sih yang bisa ngelarang datengnya perasaan kayak gitu.
Saya pernah mendengar sendiri pernyataan seorang akhwat yang dia kutip dari murabbinya seperti ini, “Yang tidak mengikuti peraturan jamaah ini (dengan berta’aruf maksudnya), tidak termasuk dalam jamaah ini! (tarbiyah maksudnya)” Wuiiihhh…… serem banget dengernya. Masa segitu mudahnya sih mengeluarkan seseorang dari jamaah.

Harapan saya pribadi sih, konsep pacaran islami ato tanazhur pra-nikah ini bisa menjadi suatu trigger dan referensi (paling tidak bahan komparasi) bagi ustadz2 kita untuk merumuskan metoda yang paling baik dan solutif dalam membina percintaan sebelum menikah. Sedih aja sih, ngeliat temen2 yang berguguran di jalan dakwah hanya karena ini.
Ya… mungkin segitu dulu bagi2 pengalamannya dari saya. Sebenernya sih ada banyak yang ingin saya ceritakan di sini berkaitan dengan pacaran islami berdasarkan apa yang terjadi di sekitar saya (saya dulu kuliah di Seni Rupa & Desain yang punya streotip seram, atheis, mabuk2an, bebas dan yang lebih parah, hanya sedikti aktivis dakwah yang mo mengambil ‘ladang amal’ ini), tapi ntar bosen lagi bacanya.

Yah, kapan2 aja lah ya. Trus, maaf juga kalo saya nggak melampirkan dalil satupun karena saya bukan ahli fiqih, hafalannya masih sedikit dan juga bukan ‘abid. Semuanya hanya berdasarkan pengalaman dan pengamatan saja.
Wassalamu’alaikum……
Wa’alaykum salam, akhi/ukhti. Kami menunggu cerita-cerita lainnya. Ulasan di atas sudah menggambarkan mengapa mereka melakukan pacaran islami secara diam-diam. Kami tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana mereka melakukannya, baik ketika mereka menjadi aktivis dakwah maupun setelah “menghilang dari peredaran”.

di kutip dari http://pacaranislami.wordpress.com/2008/02/16/pacaran-islami-ala-aktivis-tarbiyah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar