Sabtu, 16 Juli 2011

Hukum Terapi Air Seni dan Kesehatan Kita



Tanya:
Assalamualaikum Wr.Wb.

Saya ingin menanyakan pandangan fikih terhadap terapi pengobatan menggunakan terapi air seni (TAS). Bukunya sekarang sudah beredar disamping penyebarluasannya dilakukan melalui seminar dan juga adanya kesaksian/bukti dari orang yang sudah sembuh setelah melakukan terapi tersebut. Dalam sebuah seminar dikatakan bahwa: "air seni dapat menyembuhkan segala penyakit". Yang saya yakini selama ini air seni bagaimanapun tetap najis. tetapi kalau sudah banyak yang membuktikan keampuhannya, apakah air najis boleh digunakan untuk obat?

Atas jawaban dan perhatiannya, saya haturkan terima kasih. Jazaakumullohu khoiran katsiiraa, amin.
Wassalamualaikum. Wr.Wb.

Dari saya,
Amin Fauzan
af_329@yxxx


Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim. Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali Dia menurunkan obatnya juga. Yang diketahui oleh orang yang mengetahui(mempelajari)-nya, dan yang tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya". (H.R. Ahmad). Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan ibnu Majah, Rasulullah Saw bersabda: "Allah tidak hanya menurunkan penyakit, namun juga menurunkan obatnya".

Dari keterangan tersebut, terdapat jaminan bahwa segala penyakit ada obatnya. Dan ketika suatu obat atau terapi yang tepat dipergunakan untuk mengobati penyakit yang sesuai, maka penyakit itu pun akan dapat disembuhkan. Seperti diterangkan oleh sabda Rasulullah Saw: "Untuk setiap penyakit ada obatnya. Maka apabila obat itu mengenai suatu penyakit, ia akan sembuh dengan seizin Allah Ta'ala" (H.R. Muslim).

Oleh karena itu, Rasulullah Saw memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah Saw bersabda: "Wahai hamba Allah, berobatlah, karena Allah tidak hanya menurunkan penyakit, tetapi juga menurunkan obat. Kecuali bagi satu penyakit, yaitu penyakit tua". (HR. Ahmad, dan penulis kitab sunnan yang lain, serta Ibnu Hibban dan Hakim, dari Usamah bin Syarik).

Usaha memelihara kesehatan dan berobat juga dilakukan oleh Rasulullah Saw. Beliau melakukan hal itu dengan cara, antara lain: menjaga tubuh, seperti menahan diri untuk tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan, karena lambung adalah sarang penyakit; menjaga diri dari orang yang sedang menderita penyakit menular dan tidak memasuki wilayah yang sedang diamuk penyakit menular; menkonsumsi makanan yang tepat, seperti mengkonsumsi madu, yang beliau sabdakan berkhasiat untuk mengobati banyak penyakit, dan berdoa. Usaha untuk berobat dari penyakit juga beliau lakukan. Dalam hadits sahih riwayat Muslim dari Jabir, diriwayatkan bahwa Nabi Saw pernah mengirimkan seorang tabib/dokter kepada Ubay bin Ka'ab. Lalu tabib itu memotong daging tumbuhnya dan mencosnya (menempelkan besi panas membara). Ini berarti sang dokter telah melangsungkan operasi pada diri Ubay. Dari Sa'ad bin abi Waqqash, ia berkata: "Ketika aku sakit, Rasulullah Saw datang menjengukku. Lalu beliau meletakkan tangannya di antara dua dadaku. Selanjutnya beliau bersabda: "Engkau sedang terserang terserang penyakit dada. Datangilah Harits bin Kaladah, saudaranya Tsaqif, karena dia ahli mengobati penyakit". (H.R. Abu Dawud).

Pernah suatu ketika, salah seorang sahabat terluka dan banyak mengeluarkan darah. Lalu Nabi Saw memanggil dua orang dari Bani Ammar. Setelah kedua orang itu melihat sahabat yang terluka, Rasulullah Saw bertanya kepada keduanya: "Siapa di antara kalian bedua yang lebih ahli dalam mengobati penyakit?" mendengar hal itu, sahabat yang terluka berkata: "Memangnya ada kebaikan di dalam kedokteran, ya Rasulullah Saw?". Beliau bersabda: "Yang menurunkan obat itu adalah Dia Yang menurunkan penyakit". (H.R. Malik dalam al Muwath-tha).

Kemudian, apakah boleh menggunakan materi yang haram atau najis untuk berobat? Tentang hal ini, Rasulullah Saw bersabda: "Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada barang yang diharamkan atasmu". (H.R. Bukhari). dan dalam hadits riwayat Baihaqi dalam Sunan Baihaqi Kubra dari Abi Darda, Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan bagi setiap penyakit obatnya tersendiri. Maka berobatlah kalian, dan janganlah kalian berobat dengan barang yang haram". Nafi' berkata: adalah Ibnu Umar, jika ia memanggil dokter untuk mengobati salah seorang anggota keluarganya, ia mensyaratkan agar tidak mengobatinya dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT". Sementara dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas r.a. diriwayatkan: "Bahwa sekelompok orang dari Kabilah 'Urainah datang kepada Rasulullah Saw untuk berbai'at masuk Islam. Saat berada di Madinah, rombongan tadi mencoba khamar Madinah (sebelum khamar diharamkan, pen), dan mereka pun jatuh sakit. Mereka kemudian mengadukan hal ini kepada Rasulullah Saw. Mendengar hal itu, Rasulullah Saw bersabda: "Maukah kalian mendatangi penggembala unta kami, untuk meminum air seni onta tersebut dan susunya? mereka menjawab: "Baiklah". Setelah itu mereka mendatangi penggembala tadi, untuk kemudian meminum susu unta tersebut dan air seninya. Dan mereka pun segera sembuh dari sakit mereka.....". (H.R. Bukhari dan Muslim, dari banyak riwayat). Dan dalam satu riwayat disebutkan: "kemudian Rasulullah Saw memerintahkan mereka untuk meminum air seni unta tersebut dan susunya". Sedangkan riwayat yang menceritakan bahwa seorang sahabat pernah meminum air seni Rasulullah Saw, yang didiamkan oleh Rasulullah Saw tanpa memberikan teguran, juga riwayat yang menceritakan bahwa seorang sahabat pernah meminum darah beliau, setelah membekam (menyedot dengan alat untuk mengeluarkan darah kotor) beliau, yang kemudian juga didiamkan oleh Rasulullah Saw. Dua riwayat ini oleh ulama dikatagorikan sebagai bagian dari kekhususan beliau, yang tidak berlaku bagi orang lain. Sehingga tidak masuk sebagai dasar istinbath hukum.

Imam Nawawi, dalam kitab Majmu' menjelaskan bahwa ulama-ulama madzhab Syafi'i, setelah mengkaji hadits-hadits diatas, menarik kesimpulan bahwa: "berobat dengan sesuatu yang najis baru dibolehkan jika tidak ada obat yang suci yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Sedangkan jika obat yang suci itu ada, maka sesuatu yang najis itu haram, tanpa diperselisihkan lagi. Dari sini, hadits yang berbunyi:
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada barang yang diharamkan bagi kalian", dimengertikan (dihamalkan) bahwa hal itu haram jika ada obat lain yang suci yang dapat mengobati penyakit tersebut, dan tidak haram jika tidak ada obat lainnya."

Dalam kitab Raudhah Thalibin dijelaskan lebih lanjut:
"Boleh meminum air seni dan darah untuk hal itu, juga boleh berobat dengan barang-barang yang najis lainnya, seperti daging ular, kalajengking, dan pasta yang mengandung alkohol".

Abu Hanifah berpendapat: boleh meminum air seni dan darah, serta semua barang yang najis untuk berobat.

Ulama madzhab Syafi'i memberikan catatan untuk pengobatan dengan barang yang najis tersebut: "hal itu boleh jika orang yang mengobati itu adalah ahli dalam pengobatan (dokter ahli), yang mengetahui bahwa tidak ada alternatif lain untuk pengobatan penyakit itu".

Demikian juga seperti dijelaskan dalam kitab An Nihayah dan at Tahdzib, seperti dikutip oleh pengarang Hasyiah ibnu 'Abidin, bahwa: Orang yang sakit boleh berobat dengan air seni, darah, atau bangkai jika telah diberitahukan oleh dokter muslim bahwa hal itu berkhasiat untuk menyembuhkan penyakitnya, dan tidak ada barang lain yang suci yang dapat menggantikan fungsinya. Sedangkan jika dokter mengatakan bahwa cara itu menjanjikan kesembuhan yang lebih cepat, maka dalam hal ini ada dua pendapat: ada yang membolehkan dan ada yang tidak.

Demikianlah, semoga penjelasan ini bermanfaat bagi Anda. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar